Indisch Monument dan standar ganda Belanda
- Shu Khurniawan
- May 5, 2020
- 7 min read
Updated: Aug 15, 2020
Dekat Madurodam, Den Haag, didirikan dua buah monumen yang riwayatnya berkaitan dengan Indonesia: Indisch Monument dan Indie-Monument. Yang pertama adalah monumen peringatan warga Belanda yang gugur semasa perang antara Belanda dan Jepang tahun 1941-1945 di Indonesia (Hindia Belanda). Di seberangnya adalah monumen kedua, yang didirikan untuk memperingati 161 warga Den Haag yang wafat semasa perang 1945-1950 di Indonesia (Indonesia: Perang Revolusi Nasional Indonesia, Belanda: Politionele Actie/Politieactie) dan juga 1962 ketika Belanda berusaha mempertahankan Papua Barat.
Indisch Monument
Sejak diresmikan oleh Ratu Beatrix pada tanggal 15 Agustus 1988, upacara peringatan gugurnya warga kerajaan Belanda semasa pendudukan Jepang di Hindia Belanda dilakukan setiap tahun pada tanggal yang sama, disamping diperingati juga pada Nationale Dodenherdenking (National Rememberance Day of the Death: 4 Mei) dan Bevrijdingsdag (Liberation Day: 5 Mei) sejak 1962 [1].
Monumen ini adalah mahakarya Jaroslawa Dankowa, artis beraliran kontemporer yang terkenal akan karya-karyanya yang memotret kekelaman perang. Saat mengerjakan monumen ini, Dankowa yang terus ditekan untuk mempercepat pengerjaannya, sempat jatuh dari tangga hingga mematahkan tulang pinggul, namun ia berhasil menyelesaikannya tepat waktu [2].
Monumen ini menggambarkan 20 figur dengan tiga sosok yang wafat di tengah yang diapit dua sosok wanita yang berkabung. Di tengah kiri dan kanan adalah keluarga dengan mimik muka yang menderita dan saling berpelukan, sosok yang kurus kering dengan perut yang membesar, entah menggambarkan kehamilan atau kelaparan selama berada di kamp interniren Jepang. Seorang anak kecil memandang ke arah tumpukan jenazah, sementara yang lain memalingkan dan membenamkan muka di balik pelukan ibunya. Di ujung kiri, seorang pria mengepalkan tinggi tangannya ke udara, menyimbolkan kebebasan; wanita di sebelahnya memejamkan mata, seakan mencoba untuk melupakan masa kelam yang ia alami; sementara mimik muka bocah di ujung kiri dipenuhi rasa horor akan teror yang ia saksikan, trauma yang ia bawa seumur hidup. Di sebelah kanan, seorang wanita menggenggam erat tangan pria yang menengadah ke atas langit, sembari tersenyum menikmati kebebasannya, sementara pria di sebelahnya menatap lurus ke depan dengan tangan terkepal di pinggangnya, seolah hendak memberanikan diri untuk menatap masa depan, namun juga diselimuti gundah akan trauma yang melekat di hatinya.
Di tengah monumen terukir peta Indonesia dan semenanjung Malaya hingga Burma (Myanmar) dan Thailand, lokasi didirikannya kamp interniren milik Jepang tempat dipenjarakannya warga Belanda dan militer KNIL serta lokasi kerja paksa pendirian jalur kereta api yang dikenal akan kekejamannya. Tanggal 18 Desember 1941 (tanggal Belanda mencetuskan perang dengan Jepang) - 15 Agustus 1945 (kekalahan Jepang atas Sekutu) diukir di sebelah kiri. Di sebelah kanan terukir "De geest overwint" berarti "Jiwanya bebas".
Sebuah kolom segitiga berisikan tanah dari tujuh makam perang Belanda di Indonesia didirikan tepat di tengah monumen. Makam-makam tersebut adalah: Ancol, Menteng Pulo, Pandu, Leuwigajah, Candi, Kalibanteng, dan Kembang Kuning. Tahun 2008, tanah dari Galala Tantui, Ambon ditelakkan di belakang monumen [1]. Di sepanjang kolum tersebut tertulis "Het indisch monument is teken van het ondergane leed en symbol de strijd tegen onderdrukking en terreur. Na de Japanse overval op Pearl Harbor werd Nederland op 8 December 1941 betrokken in de oorlog in Zuid-oost Asie die eindigde met de Japanse capitulatie op 15 Augustus 1945. Ontelbare militairen, verzetsstrijders en burgers uit alle bevolkingsgroepen in en buiten de gevangenkampen lieten hun leven" (Monumen Indisch adalah peringatan akan kekelaman yang telah lewat dan simbol perjuangan melawan opresi dan teror. Setelah Jepang menyerang Pearl Harbor, Belanda terlibat dalam perang di Asia Tenggara pada 8 Desember 1941, yang berakhir dengan menyerahnya Jepang pada 15 Agustus 1945. Tentara yang tak terhitung jumlahnya, pejuang, dan warga sipil dari semua kelompok di dalam dan di luar kamp interniran kehilangan nyawa mereka."
Tiga tahun setelah pendirian monumen ini, 19 Juli 1991, terjadi sebuah insiden yang dikenal dengan Insiden Kaifu. Setelah Perdana Menteri Jepang, Toshiki Kaifu, meletakkan karangan bunga di sini, seorang demonstran (atau aktivis?) Indo-Belanda melemparkan karangan bunga tersebut ke danau di dekatnya. Insiden ini diikuti permintaan maaf Perdana Menteri Belanda, Ruud Lubbers, yang malahan semakin mengobarkan amarah warga keturunan Indo-Belanda [1]. Menurut Gert Oostindie dalam bukunya Postcolonial Netherlands: Sixty-five years of forgetting, commemorating, silencing (2010), insiden ini, di antara insiden lainnya, terjadi karena warga keturunan Indo-Belanda, umumnya "komunitas Maluku dan militer Belanda...mempertanyakan hutang kehormatan dan permintaan maaf dari Jepang...(dan) karena sikap Jepang yang kurang self-critical dan kurang berdamai dibandingkan Jerman. Sikap Jepang yang abai semakin memprovokasi kejengkelan, tidak hanya di Belanda, tapi di negara Asia dan Eropa lainnya" (hal. 84 dan 142) [3].
Indie-Monument
Tak jauh dari Indisch Monument terdapat monumen lain yang dibangun untuk memperingati warga Den Haag yang wafat semasa Politionele actie (1945-1950) dan perang mempertahankan Papua Barat (1962). Pendiriannya sendiri diinisiatif oleh Vereniging Oud Militaire Indiëgangers (VOMI: asosiasi veteran perang Indonesia-Belanda) dan diresmikan pada tanggal 18 September 2002 [4]. Gert Dumbar diberikan amanah untuk mendesain monumen ini. Dumbar adalah seorang desainer terkemuka Belanda, yang lahir di Bandung (1940) dan mengalami dua perang: perang semasa pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan Indonesia [5].
Monumen ini berukuran 8x1 meter. Di bagian depan monumen, terukir vertikal nama-nama penduduk Den Haag yang gugur semasa perang. Dari nama tersebut, di-highlight huruf-huruf berwarna emas yang membentuk tulisan "Op wekle grond werden ze gelegd in vreemde aarde" (Atas dasar apa mereka dikebumikan di tanah asing). Pada bagian belakang juga tertera tulisan serupa dengan terjemahan Indonesia-nya. Beberapa meter di depan monumen, berdiri sebuah kolom kubus berukir peta Indonesia dan tulisan "Dit monument werd opgericht ter nagedachtenis van de Haagse militairen die tussen 1945 en 1962 zijn gekomen in voormalig Nederlands-Indie en Nieuw-Guinea. Langer dan een mensenleven duurt de herinnering aan hun vergeefse dood" (Monumen ini didirikan untuk mengenang militer Den Haag yang tiba di yang sebelumnya Hindia Belanda dan Nugini antara 1945 dan 1962. Kematian mereka yang sia-sia akan dikenangkan melintasi waktu).
Standar Ganda Belanda?
Hari ini, 4 Mei 2020, bertepatan dengan Dodenherdenking, saya membaca tulisan Marjolein van Pagee, ahli sejarah dan aktivis dekoloniasi Indonesia di Belanda. Marjolein adalah pendiri Histori Bersama, sebuah platform yang membahas sejarah kolonial Belanda di Indonesia dan hubungan antara kedua negara. Marjolein, oleh beberapa warga Indonesia di Belanda yang pernah saya temui, dikenal sebagai aktivis yang sangat keras dalam perjuangannya mengedepankan dekolonisasi dan memperbaiki narasi sejarah kolonial yang tidak berimbang dengan mengedepankan perspektif Indonesia. Saking kerasnya langkah-langkah yang ia ambil (bersama tim Histori Bersama dan Jeffry Pondaag dari KUKB), pada batasan tertentu bahkan timbul sentimen buruk dari komunitas Indonesia di Belanda.
Hari ini, dengan keras, Marjolein menulis dalam bahasa Belanda "Dodenherdenking, hanya kebohongan dan hipokrisi! Belanda adalah negara predator tapi setiap tanggal 4 Mei, kesannya adalah kita hanya korban dari fasisme Jerman dan Jepang. Penjajahan diperingati seakan-akan hal ini biasa terjadi, garis aparteid ditanamkan. Kenalilah sejarahmu!" sambil menambahkan banner "75 tahun kebebasan: kebebasan untuk siapa? #geen4meivoormij" di gambar profilnya. Selain itu, ia juga menyebarkan tautan video diskusi Jeffry Pondaag yang memakai perspektif Indonesia, mengkritisi eksibisi Dossier Indie.
Setelah menonton video tersebut, saya merenungkan beberapa hal yang menjadi poin dari Jeffry dan Marjolein di laman facebook-nya. Pada intinya, mereka mengkritik ketidakimbangan Belanda ketika memosisikan dirinya sebagai korban dalam Perang Dunia II, namun melupakan perannya sebagai tersangka atas ratusan tahun penindasan di tanah koloninya. Misalnya, saat Dodenherdenking, Belanda mengenangkan gugurnya warga negaranya atas pendudukan Jerman dan Jepang yang fasis, namun di sisi lain secara terus-menerus melegitimasi kolonialisasinya di Indonesia. Bahkan setelah selesainya PD-II, Belanda, yang mengecap perihnya okupasi, kerja paksa, dan opresi dari Jerman dan Jepang, berusaha meneruskan kolonialisasi di Indonesia seakan tidak belajar atau memproyeksikan terhadap warga Indonesia segala kekejaman yang ia telah ia lewati selama PD-II. Ketidakseimbangan lain adalah diangkatnya narasi penindasan dan kekejaman yang dialami warga Belanda saat dipekerjakan secara paksa oleh Jepang untuk membangun Birma railroad, sementara wafatnya penduduk Jawa di tangan Daendels ketika membangun Jalan Raya Anyer-Panarukan luput dari narasi buku sejarah dan permuseuman Belanda. Contoh lain dapat dilihat dari dunia museum, ketika Belanda secara gencar melakukan studi mengenai barang-barang rampasan Nazi di museumnya dan repatriasinya ke tanah asal, tapi seakan menunda, lambat turun tangan, bahkan acuh-tak-acuh ketika berhadapan dengan barang-barang rampasan perang di Indonesia.
Poin lain yang diangkat Jeffry adalah saat Menteri Pendidikan Belanda dalam sambutan pembukaan eksibisi Dossier Indie mengatakan bahwa narasi kolonialisme harus diseimbangkan dengan menambah perspektif Indonesia (27:54). Jeffry mengkritik kata "seimbang" ini dengan meminta hadirin membayangkan jika Nazi Jerman mengatakan hal serupa, bahwa kejahatan perang Nazi harus didengarkan dan "diseimbangkan", yang berarti meminta argumen legitimasi Nazi untuk disetarakan dengan jerit tangis korban perang, apa reaksi Belanda?
Dalam peringatan Bevrijdingsdag, kita tidak lepas dari kisah perjuangan mahasiswa Indonesia di Belanda, Irawan Soejono, yang ditembak mati oleh Nazi di Leiden ketika ia tengah mengantarkan mesin stensil untuk pencetakan surat kabar bawah tanah de Bevrijding. Irawan adalah salah seorang pejuang dengan prinsip membebaskan Belanda dari Nazi terlebih dahulu, agar setelah itu, Indonesia bisa bebas dari Belanda. Oleh sebab ini, ia mendaftarkan diri sebagai anggota militer Belanda. Betapa kecewanya Irawan ketika mendiskusikan pandangannya ini dengan seorang teman namun malah mendapat balasan bahwa Indonesia belum siap merdeka [6]. Saya percaya bahwa jawaban ini barangkali juga menjadi sebuah pandangan yang umum di kalangan warga dan pemerintah Belanda (seperti yang diangkat dalam diskusi Wereldmuseum, ketika Belanda berpendapat bahwa Curacao akan lebih baik ketika diurus oleh Belanda, video diskusi Jeffry Pondaag, menit 1:22:25). Renungkan, jika Belanda harus lepas dari cengkeraman Nazi, kenapa Indonesia tidak boleh lepas dari cengkeraman Belanda? Bukankah ini standar ganda Belanda?
Argumen-argumen ini, meskipun sangat keras, kiranya dapat menjadi bahan renungan di hari Dodenherdenking dan Bevrijdingsdag tahun ini. Pantaskah kita mengenang jiwa-jiwa yang gugur semasa PD-II? Ya, jelas, tidak ada sanggahan sama sekali. Selama dua hari ini sepantasnya kita mengenangkan jiwa-jiwa yang gugur karena kekerasan perang, jiwa-jiwa yang kebebasannya dirampas, jiwa-jiwa yang masa depannya berada di tangan musuh, tertindas dan kehilangan nyawa. Kita menghormati jiwa-jiwa yang gugur sebagai manusia, yang hak asasinya dirampas dalam semasa perang. Namun di balik itu, kita juga tidak boleh mengenyampingkan begitu saja kekerasan struktural serupa yang telah terjadi sebelum PD-II, seakan-akan PD-II adalah periode satu-satunya saat nyawa manusia memiliki makna. Ratusan tahun kolonialisme Belanda di tanah Indonesia harus diberikan porsi serupa.
Saya pikir menyandingkan tindakan yang dilakukan Nazi dan Jepang terhadap Belanda dengan apa yang diperbuat Belanda terhadap koloninya adalah sebuah cara untuk melihat/menambah makna dua hari besar di Belanda ini dari perspektif lain. Pentingnya nyawa orang kulit putih sama dengan nyawa orang kulit coklat di Indonesia, atau warna kulit apapun. Yang diperbuat Belanda dengan mengenangkan hanya golongannya sembari mengenyampingkan nyawa-nyawa orang di Indonesia tak lain adalah sebuah bentuk rasisme. Ketidakadilan inilah yang mendasari mengapa Belanda dipandang penuh dengan standar ganda: dalam keberjalanan sejarah, mereka terus-terusan menempatkan diri sebagai korban dari perang (dari Nazi dan Jepang), namun menutup mata terhadap kekerasan yang mereka lakukan di tanah koloninya (meskipun Raja Belanda sudah menyatakan kesalahannya semasa 1945-1949, secara substansi belum/tidak ada perubahan berarti di kalangan masyarakatnya).
Saya tidak bermaksud sedikit pun untuk memboikot dua hari besar ini atau mengacaukan antusiasmenya. Saya juga tidak bermaksud untuk mengatakan orang Indonesia yang menjadi korban Belanda lebih penting dari orang Belanda yang wafat di tangan Nazi dan Jepang, terlebih lagi untuk terus-menerus memosisikan orang Indonesia sebagai korban (playing victim) meskipun dalam faktanya rakyat Indonesia yang cenderung menjadi korban. Namun, satu nyawa Eropa tidak lebih penting dari seribu nyawa Indonesia. Oleh karena itu, dalam momen Dodenherdenking dan Bevrijdingsdag, ketika berdiri di monumen ini, mengenangkan wafatnya orang-orang Belanda semasa Perang Dunia II, ada baiknya jika Belanda menatap lebih dalam yang ia lakukan ratusan tahun sebelumnya sembari merenungkan, "Apakah Belanda, sebagai korban, juga berperan sebagai tersangka?" Jawabannya adalah 'ya'.
p.s.: peringatan di Indisch Monument Den Haag (setiap 15 Agustus) dan juga Nationaal Indië-monument 1945-1962 Roermond (setiap Sabtu pertama bulan September) tidak diselenggarakan pada hari Dodenherdenking dan Bevrijdingsdag, namun poin yang diangkat penulis tetap relevan ketika membahas dua hari ini.
Referensi:
[3] Oostindie, G. 2011. Postcolonial Netherlands: Sixty-five years of forgetting, commemorating, silencing. Amsterdam: Amsterdam University Press. http://library.um.edu.mo/ebooks/b28019982.pdf
Comments