Dossier Indië: Fotografi dan sejarah kolonial dalam perspektif Indonesia
- Shu Khurniawan
- Apr 8, 2020
- 6 min read
Updated: May 5, 2020
Update 5 Mei: Jeffry Pondaag atas undangan Wayne Modest (Research Center for Material Culture) memberikan kritik yang keras menggunakan perspektif Indonesia (terlebih, dari korban kekerasan Belanda) terhadap eksibisi ini. Lihat video lengkapnya di sini.
Catatan: Artikel ini dipublikasikan di museumtravelogue.com dan diedit oleh Ajeng Ayu Arainikasih pada tanggal 29 Maret 2020.

29 Desember 2019. Hari itu adalah kali kedua saya berkunjung ke Wereldmuseum di Rotterdam. Kunjungan pertama saya beberapa bulan sebelumnya bisa dikatakan tidak begitu menggembirakan. Saat itu, interior museum sedang direnovasi total, kecuali sebuah ruangan kecil di lantai dasar yang memamerkan beberapa topstukken koleksi museum ini: benda budaya dari Indonesia, Oceania, dan Afrika.
Sejak dibuka kembali pada Juli 2019, baru kali ini saya berkunjung tanpa terlebih dahulu mencari informasi mengenai eksibisi yang sedang berlangsung. Karena Wereldmuseum Rotterdam berada dalam satu organisasi yang juga membawahi Museum Volkenkunde Leiden dan Tropenmuseum Amsterdam, saya membayangkan akan mendapati lorong-lorong dan rak-rak eksibisi yang berisikan artefak dari Indonesia dan daerah lain.
Ternyata saya salah! Saat saya datang, hanya ada eksibisi temporer di lantai teratas berjudul Dossier Indie (the Dutch East Indies Files). Menarik!
Eksibisi ini diselenggarakan karena banyaknya arsip, terutama arsip fotografi seputar Indonesia di zaman kolonial. Selain itu, karena adanya upaya dekolonisasi yang selama beberapa tahun belakangan semakin gencar digaungkan oleh peneliti dan politisi Belanda.
Semenjak diperkenalkannya fotografi di Hindia Belanda pada tahun 1840, berbagai peristiwa, kisah, tokoh dan pemandangan alam kerap kali dilihat hanya melalui mata para penciptanya: de Europese. Kini, berbagai penelitian dan upaya dekolonisasi mendorong kita untuk meninjau kembali makna tak terungkap dari setiap helai foto dan juga mengangkat kisah baru yang lebih berimbang dengan melibatkan perspektif Indonesia.
Untuk itu, pihak museum menggandeng Thom Hoffman, seorang aktor, fotografer dan juga peneliti Hindia Belanda sebagai kurator tamu dalam pameran ini.
Challenging Dutch perspective
Ruangan pertama mengajak kita memahami bagaimana cara pandang orang Belanda terhadap Hindia Belanda: eksotisme, baik eksotisme alam maupun budaya. Desain suasana ruangan yang dibuat terang dan hijau dengan latar belakang gunung dan pantai secara jelas menggambarkan bagaimana Hindia Belanda dilihat sebagai surga untuk bersantai (de idylle).

Di tengah ruangan, dipasang instalasi menyerupai bilik foto abad ke-19, dengan lubang yang mengarah tepat ke wajah seorang wanita Jawa yang memakai kemben. Hal ini kembali menggaungkan cara pandang eksotisme Barat terhadap masyarakat Timur. Awalnya, pengunjung mungkin tidak akan menyadari akan pandangan eksotisme yang di-re-enact ini sampai mereka menonton introductory video dari sang kurator. Di video tersebut sang kurator menyampaikan niatnya untuk menyeimbangkan narasi (dan sudut pandang) Belanda dengan perspektif Indonesia.

Relasi kuasa
Ruangan berikutnya mengangkat kisah seputar tanam paksa (het Cultuurstelsel, 1830-1870). Narasi yang dibentuk sangat menarik. Selain menjabarkan tentang kondisi mengenaskan selama tanam paksa, juga diperlihatkan relasi antara pemerintah kolonial dan “raja-raja daerah” yang berperan dalam sistem ini.
Yang paling menarik perhatian pengunjung di sesi ini adalah cuplikan film Max Havelaar (1976). Ketika Multatuli mengambil sumpah sebagai asisten residen Lebak sembari melempar pandangan keaarah rakyat kecilnya, momen ini benar-benar menggugah emosi pengunjung yang selaras dengan emosi yang ingin dibangun dalam bagian ini.

Masih di ruangan yang sama, kita disambut dengan deretan foto yang menceritakan struktur sosial dan ras di zaman kolonial. Salah satu foto yang menyita perhatian saya adalah foto migrasi orang-orang Tionghoa ke Indonesia (Deli) dan juga orang-orang Jawa ke Suriname (Paramaribo) yang dikirim sebagai buruh perkebunan.
Saya mencoba menerka, apakah mereka mengalami nasib serupa di tanah yang berjauhan? Apakah kehidupan mereka menjadi lebih baik? Apakah mereka berkesempatan untuk pulang ke tanah air dan bersatu dengan keluarganya lagi?
Sebagai seorang keturunan Tionghoa, saya jadi membayangkan bagaimana jika kakek dan nenek saya adalah migran buruh perkebunan yang diabadikan di foto tersebut….

Bagian ini juga menceritakan mengenai Laporan Rhemrev (1903), seorang administrator Belanda yang ditugaskan untuk menyelidiki kebenaran adanya penyiksaan terhadap buruh kontrak di Sumatra.
Laporan tersebut dikabarkan hilang dan baru ditemukan ulang pada tahun 1987, yang kemudian menjadi skandal besar di Belanda pada masa itu.
Ekspedisi Militer Belanda dan Politik Etis
Ruangan selanjutnya mengisahkan tentang ekspansi militer Belanda di awal abad ke-20, terutama semasa Perang Aceh dan Puputan Bali. Kedua peristiwa tersebut berusaha dipaparkan dalam perspektif Indonesia. Misalnya, terdapat video yang mengisahkan tentang perjuangan Cut Nyak Dien dan rakyat Aceh melawan kekuatan Belanda yang jauh lebih besar.


Namun, pada periode yang sama, tidak semua daerah mengalami perang. Di daerah lain yang lebih tenang, kehidupan berjalan seperti biasanya: piknik, kehidupan glamor di club dan kehidupan administrasi masih berlangsung. Cuplikan kehidupan ini dipertunjukkan dalam bagian “Het Koloniale Leven" (The Colonial Life).

Selain itu, lukisan besar Kartini di ujung ruangan membahas mengenai emansipasi wanita serta Politik Etis. Menariknya, mayoritas foto mengenai politik etis yang dipajang menampilkan tokoh agama (Kristen) yang menghidupkan tindakan “balas budi” melalui bidang kesehatan, pendidikan, pertanian dan penginjilan (penyebaran agama).

DUTCH ONLY!
Ruangan selanjutnya menawarkan suasana yang cukup berbeda: label-label informasi kebanyakan hanya disediakan dalam Bahasa Belanda tanpa translasi lebih lanjut. Begitu pula dengan film yang diputar, tidak ada subtitle dalam Bahasa Inggris. Hal ini menyebabkan pengunjung yang tidak berbahasa Belanda merasa lost dan dikesampingkan.
Sesi ini mengisahkan tentang rasialisme di Hindia Belanda sepanjang abad ke-20, kebangkitan fasisme dan semangat komunisme di Indonesia. Di sesi akhir, bagian ini didominasi oleh foto dan arsip mengenai penindasan terhadap orang Belanda sepanjang pendudukan Jepang (1942-1945) dan bagaimana orang Indonesia memilih “merapat” ke pihak Jepang. Foto seputar kamp konsentrasi, penindasan dan video dokumenter dari saksi serta veteran perang juga ditampilkan.
Sang curator, Thom Hoffman, saat saya berkesempatan bertukar pikiran dengannya, mengatakan memang sesi ini khusus didedikasikan kepada orang Belanda, sehingga translasi dalam berbagai label dan film tidak dilakukan.
MERDEKAAA!
Ruangan selanjutnya menampilkan sejarah proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Pada sesi ini, tim kuratorial seolah memberikan pengakuan mereka terhadap kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, sebagai bentuk kritik terhadap perspektif mayoritas warga Belanda yang masih mempertahankan pandangan bahwa Indonesia merdeka pada tahun 1949 (atas pemberian Belanda melalui Konferensi Meja Bundar).
Meskipun pada tahun 2005 silam Menteri Luar Negeri Belanda secara de facto mengakui kemerdekaan Indonesia, narasi ini masih dipertahakan oleh sebagian besar warga Belanda hingga kini.

Selain proklamasi, narasi mengenai periode perang Indonesia-Belanda tahun 1945-1949 juga cukup progresif dan lebih berpihak kepada Indonesia. Alih-alih memakai istilah Politieactie yang umum dipakai dalam narasi Belanda, pameran ini menggunakan istilah Agresi Militer Belanda.
Narasi yang diangkat juga menawarkan perspektif lain yang tidak pernah terlintas di benak saya sebelumnya.
Ada sebuah foto yang menurut saya sangat familiar, pernah sekali saya lihat di grup Facebook (yang dikelola oleh admin orang Belanda) yang membagikan foto-foto masa kolonial beserta keterangannya. Di grup tersebut, dikatakan bahwa prajurit KNIL membagikan makanan kepada anak-anak sebagai bentuk charity sebab Indonesia tidak bisa menjamin kesejahteraan penduduknya yang lapar dalam situasi perang.
Dalam eksibisi kali ini, disebutkan bahwa foto-foto tersebut kerap diambil (dan diatur sedemikian rupa) sebagai bentuk propaganda dan cover-up dari kekerasan berlebihan yang dilakukan militer Belanda terhadap penduduk Indonesia selama agresi ini.


Saya mendapat kesan bahwa bagian agresi militer ini-lah yang menjadi inti dari eksibisi ini, di tengah perdebatan panas antara para ahli sejarah mengenai kenetralan proyek riset bertajuk "Independence, decolonization, violence and war in Indonesia 1945-1950".
Bisa dikatakan, eksibisi ini berperan untuk memberikan bukti bahwa kekerasan dan ketidakadilan perang yang berlebihan dari pihak Belanda terhadap Indonesia benar terjadi dan telah didokumentasikan sejak lama, namun dipublikasikan dalam narasi dan perspektif yang berbeda.
Konferensi Meja Bundar dan era selanjutnya
Eksibisi dilanjutkan dengan pemaparan dan video dokumenter Konferensi Meja Bundar dan pemindahan kedaulatan (transfer of sovereignty) pada tahun 1949. Di akhir eksibisi, sepanjang dinding menuju pintu keluar dipenuhi dengan potongan artikel dari koran dan media elektronik yang memuat berita, debat, dan diskusi mengenai kekerasan kolonial serta riset-riset yang tengah berlangsung.

Pengunjung juga diperkenankan untuk memberikan tanggapan beserta kesan-pesan di buku tamu tepat di sebelah pintu keluar. Saya sempat mengintip beberapa tulisan pengunjung. Kebanyakan merasa bahwa eksibisi ini berhasil mengubah perspektif dan menggali fakta-fakta yang selama ini dinilainya “disembunyikan” dari teks pendidikan dan media.
Ada juga yang berpendapat bahwa narasi yang diangkat tidak berimbang karena sangat pro-Indonesia dan tidak menghargai para veteran perang Belanda (KNIL).

Saya pribadi merasa bahwa tujuan eksibisi ini benar-benar tercapai. Perspektif yang dibangkitkan benar-benar mendobrak prevailing naration yang masih dipakai oleh mayoritas penduduk Belanda.
Pada tanggal 10 Maret 2020, Raja Willem-Alexander dalam kunjungannya ke Indonesia, meminta maaf secara terbuka atas kekerasan berlebihan militer Belanda selama periode 1945-1949. Eksibisi ini barangkali memberikan andil yang besar dalam permintaan maaf tersebut. Di lain pihak, eksibisi ini juga dapat menawarkan penjelasan kepada warga Belanda yang masih menentang ataupun bingung atas keputusan rajanya.
Penataan narasi dan alur yang dibangun dalam eksibisi ini terasa sangat mengalir karena diatur secara kronologis. Meskipun begitu, perlu dilakukan pembenahan dalam desain eksibisinya yang monoton: font yang kurang menarik, tata letak dan ukuran label yang kurang tepat.
Peletakan monitor video yang tinggi memaksa pengunjung untuk menonton dalam posisi yang tidak nyaman. Entah disengaja atau tidak, ketidaknyamanan fisik dalam berinteraksi dengan instalasi seperti meresonansi ketidaknyamanan sosial/moral yang ingin dikonfrontasi konten eksibisinya.
Narasi yang dibangun juga dirasa terlalu Jawa-sentris; meskipun golongan Tionghoa dan Arab juga sekilas disebutkan, tidak banyak narasi yang mengisahkan tentang peranan kedua golongan ini dalam masa kolonial (underrepresented).
Saya juga merasakan ketidaknyamanan atas penggunaan istilah pribumi (indigenous) yang tengah kontroversial dalam diskusi Indonesia dewasa ini.
Saya hendak menyarankan tidak hanya kepada para mahasiswa dan diaspora Indonesia di Belanda, namun juga kepada masyarakat Belanda secara umum untuk datang ke eksibisi ini dan melihat sesuatu yang baru terkuak dengan perspektif yang masih kurang umum di kalangan Belanda.
Apresiasi terbesar saya untuk seluruh tim Wereldmuseum dan Thom Hoffman atas keberaniannya mengangkat topik yang rumit dan kontroversial ini!
Comments