Repatriasi objek budaya: antara optimisme, skeptisisme, dan inferioritas masyarakat Indonesia
- Shu Khurniawan
- Apr 12, 2020
- 9 min read
Ketika kasus repatriasi Keris Diponegoro dan barang budaya koleksi Museum Nusantara Delft dimuat di media berita nasional, saya mengamati beragam respon masyarakat Indonesia, baik yang berada di dalam maupun di luar negeri, termasuk di Belanda. Meskipun barang kali terpaut setengah putaran Bumi, saya melihat reaksi yang serupa antara masyarakat di kedua lokasi ini baik di grup facebook maupun twitter. Hal ini menggelitik saya untuk mengulas fenomena ini dari segi pandang seorang awam yang melakukan studi independen tentang repatriasi dan dekolonisasi, serta sebagai seseorang yang tinggal di Belanda selama dua tahun dan mengikuti perdebatan seputar barang budaya Indonesia di Belanda.
Setidaknya, saya bisa melihat ada dua buah respon utama dari masyarakat Indonesia terhadap repatriasi ini:
Optimistis
Golongan ini termasuk kalangan yang menurut saya paling banyak bersuara. Mereka merasa optimis bahwa pengembalian barang budaya ini adalah hal yang patut dan pantas, mengingat sejarah kelam pengambilan (meskipun tidak semua) barang budaya selama masa kolonial dan pasca-kolonial. Beberapa juga merasa optimis bahwa barang budaya yang dikembalikan ini dapat bermanfaat, jika tidak untuk mereka, setidaknya untuk anak cucu mereka. Mereka juga mengapresiasi usaha keras dari berbagai pihak terkait: ahli sejarah, pemerintah kedua negara, dan pihak-pihak yang terlibat dalam proses negosiasi.
Pesimistis dan skeptis
Bagi golongan ini, pengembalian barang budaya ke Indonesia dapat mengancam kelestariannya sendiri dengan beberapa alasan: (1) Ketidakmampuan museum Indonesia untuk melestarikan dan mengelola barang budaya ini baik dari segi sarana-prasarana, anggaran, maupun sumber daya manusia; (2) Adanya trauma akan banyaknya kasus kehilangan dan pencurian artefak koleksi museum, terlebih Museum Nasional, yang hingga kini belum juga terpecahkan [1]; (3) Kondisi iklim Indonesia, terutama Jakarta, yang dapat mengancam keamanan artefak ini. Contoh paling dekat adalah ketika Museum Nasional mengalami kebocoran atap di ruangan/selasar tempat dipajangnya arca-arca [2], meskipun peristiwa ini dianggap aman dan tidak merusak arca, ancaman seperti ini terasa nyata membayangi. Selain itu, ada pula yang menganggap bahwa repatriasi ini sia-sia sebab konteksnya irelevan bagi masyarakat hari ini.
Dapat disimpulkan bahwa golongan ini selain merasa pesimis terhadap kelestarian barang budaya di Indonesia, mereka juga skeptis akan kemampuan pihak yang bertanggung jawab akan kelestariannya.
Analisis
Memang, optimisme, pesimisme dan skeptisisme terhadap kemampuan pemerintah dan institusi pemerintahan sudah lama menjelma dalam berbagai aspek di kehidupan masyarakat Indonesia. Tidak hanya dalam konteks fenomena insidental seperti repatriasi ini saja, namun juga dalam kehidupan sehari-hari, kebijakan pemerintah pun kerap disikapi dengan ketiga reaksi ini. Public trust terlihat sangat terpolarisasi. Kita pun tidak bisa mengategorikan begitu saja golongan pertama sebagai kelompok yang pro-pemerintah, sedangkan yang kedua dan ketiga sebagai oposisi. Tidak, entah seseorang pro atau oposisi terhadap pemerintah, sikap pesimistis dan skeptisisme bisa saja lahir.
Untuk golongan yang optimistis terhadap kemampuan pemerintah dan museum untuk menjaga barang budaya ini, tentunya sikap ini patut diapresiasi. Public trust kepada pemerintah tentunya dapat membangun atmosfer yang kondusif dan sehat bagi para pelaku budaya yang terlibat dalam tugas ini, terutama para staf museum, yang kepada merekalah pusaka ini dipercayakan ke tangannya. Percayalah, ketika antuasiasme masyarakat untuk mengapresiasi kerja keras pemerintah dan instansinya sangat tinggi, tentunya suntikan semangat dan inspirasi juga akan terus memacu mereka untuk bekerja lebih keras dan lebih bertanggung jawab.
Namun, kepercayaan yang membabi buta terhadap pemerintah tanpa melakukan kontrol terhadap pemeliharaan dan tanpa peran aktif dalam pemanfaatannya juga dapat menjatuhkan. Membiarkan tanpa partisipasi aktif, lebih tepatnya, dapat mengurangi nilai (value) dari objek budaya ini. Tanpa adanya apresiasi dan kontrol serta kesadaran akan pentingnya nilai guna barang budaya ini, semangat perlindungan juga akan merosot. Tanpa antuasiasme, tidak akan ada kekuatan. Tanpa adanya apresiasi, penyebaran pengetahuan akan pentingnya objek budaya tidak akan berjalan. Kita harus keluar dari lingkaran setan ini.
Bagaimanapun juga, pelestarian budaya dan pemanfaatan barang budaya berjalan secara dua arah. Jika objek budaya tidak diberdayagunakan oleh pemerintah, masyarakat akan kehilangan antusiasme. Jika masyarakat sejak awal tidak menaruh kepedulian terhadap barang budaya, tentunya para pekerja terkait juga akan bingung dan merasa bahwa usaha mereka sia-sia belaka dan tanpa makna. Komunikasi positif dan dukungan timbal balik keduanya adalah kunci kesuksesan dalam melestarikan barang budaya (juga cagar budaya). Oleh karena itu, terhadap golongan yang optimistis dan mendukung repatriasi barang budaya ini, kita sebagai masyarakat perlu senantiasa mengapresiasi, mendukung, membantu secara aktif, terus melakukan kontrol dan memanfaatkan barang budaya yang kita miliki untuk kepentingan publik, misalnya untuk mempererat kekuatan sosial (social unity).
Menyikapi golongan yang pesimitis dan skeptis terhadap kemampuan pemerintah, pandangan ini tentunya tidak bisa disalahkan begitu saja. Pengalaman masa lalu yang pahit, yang mencerminkan kekurangsigapan pemerintah untuk memelihara barang budaya tentunya menjadi sebuah trauma yang melekat dalam masyarakat. Misalnya saja, pada tahun 2013, empat buah artefak emas raib dari lemari eksibisi akibat kelalaian dalam sistem keamanan. Hingga saat ini, kasus tersebut belum terpecahkan [3]. Tidak hanya di Museum Nasional, banyaknya museum yang mengalami kejadian serupa [1,4,5] semakin menurunkan citra museum dan pemerintah dalam menjamin keamanan dan kelestarian barang budaya yang selalu digadang-gadangkan sebagai identitas bangsa.
Bukan hanya kasus pencurian, kurangnya sumber daya manusia, rendahnya anggaran dan tata kelola serta citra buruk birokrasi pemerintah menambah daftar panjang respon negatif dari masyarakat. Tidak heran apabila sikap pesimistis dan skeptis ini diiringi dengan pendapat agar barang budaya ini lebih dibiarkan saja di luar negeri sebab di tangan mereka, objek ini dapat dipelihara lebih baik. Ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas dalam pandangan ini.
Kebanyakan dari mereka menggunakan kata "titipkan" (mengutip dalah satu komentar: "Mending koleksi kita dititipkan dimuseum Belanda saja). Saya percaya bahwa kebanyakan yang mengeluarkan komentar demikian kurang memahami bahwa sebelum barang budaya dikembalikan (dan hampir semua barang budaya asal Indonesia yang masih berada di luar negeri), objek tersebut berstatus properti negara setempat, bahkan terkadang menjadi barang yang sifatnya inalienable, artinya milik negara yang tidak bisa diberikan atau dipindahtangankan kepada pihak manapun. Dengan adanya proses repatriasi, kepemilikan barang budaya tersebut dipindahtangankan ke Indonesia, kecuali jika disepakati bahwa barang yang dipulangkan berstatus long-term loan atau permanent loan, yang berarti dipinjamkan ke Indonesia dalam jangka waktu yang lama atau permanen, tanpa adanya perubahan status kepemilikan. Artinya, barang tersebut tetap milik negara lain, namun dipinjamkan dan dipulangkan ke Indonesia agar dapat dimanfaatkan.
Semangat publik di atas tentunya harus dijaga dan disertai dengan pemberian pemahaman yang tepat. Memang benar bahwa kebanyakan barang budaya yang berada di luar negeri adalah milik Indonesia, terlebih yang diambil dalam konteks perang (rampasan perang), secara paksa, atau tanpa konsen dari pemiliknya. Namun, kita juga harus menyadari adanya barang budaya yang diberikan dengan konsen, seperti hadiah dari para sultan/raja kepada raja/ratu Belanda, atau artefak yang diberikan dari berbagai kelompok adat di Indonesia kepada misionaris sepanjang abad ke-19 dan 20 [6] dan benda ini sepenuhnya menjadi hak pihak yang menerima, selama konteks sejarahnya tepat, jujur, dan adil.
Memang, repatriasi tidak harus selalu bermakna transfer dari luar negeri kembali ke tanah Indonesia. Saya berpendapat bahwa repatriasi, atau lebih tepatnya dikatakan pengembalian, juga bisa dilakukan dengan melakukan transfer status kepemilikan. Misalnya, kepemilikan benda budaya di museum Belanda diakui sebagai milik Indonesia namun tetap dipinjamkan/diletakkan di Belanda hingga sarana prasarana yang memadai di Indonesia siap menampung benda tersebut. Apabila status kepemilikan bisa dipindahkan ke tangan Indonesia sedini mungkin, proses transfer kembali ke tanah air tentunya dapat dilakukan dengan mudah di kemudian hari. Selain itu, tidak seluruh benda budaya harus dipulangkan ke Indonesia. Beberapa benda yang memiliki nilai kelangkaan rendah (atau keterdapatannya umum) dapat ditempatkan di museum luar negeri, sebagai sebuah simbol yang bisa dinikmati dan didayagunakan oleh komunitas Indonesia di sana. Selain itu, juga agar warga negara lain dapat mengapreasiasi dan mengenal budaya Indonesia. Singkatnya, barang budaya di luar negeri dapat berfungsi sebagai representasi atau refleksi dari kekayaan budaya Indonesia di tanah air. Tentunya barang dalam kategori ini dapat disikapi dengan dua pilihan, diupayakan agar statusnya diubah menjadi milik Indonesia yang kemudian dipinjamkan (on loan), atau tetap dibiarkan sebagai milik negara tersebut.
Pandangan pesimistis dan skeptis terkadang juga dibonceng dengan sikap inferioritas bangsa Indonesia terhadap negara lain. Misalnya, mengutip sebuah komentar, "Sudah biarkan saja tetap di Belanda. Negara kita tidak becus dan tidak akan pernah bisa mengurus artefak ini! Toh Belanda punya semua sarana prasarana lebih canggih untuk melestarikannya" dan juga "Untung diselamatkan Belanda. Negara kita kan tidak pernah bisa menghargai budayanya." Kita mungkin bisa berargumen bahwa mentalitas inferior seperti ini adalah bentuk colonial legacy berkepanjangan, ketika kita selalu memandang negara lain, terutama pelaku kolonisasi, sebagai pihak yang mahabisa, mahasempurna, atau bahkan juru selamat, sedangkan negara sendiri sebagai pihak yang rendah, tidak mampu dan tidak memiliki harapan untuk maju.
Pemikiran seperti ini sebenarnya terjebak di antara sikap realistis dan pesimistis. Saya rasa, dalam konteks seperti ini, batas antara keduanya kabur, bahkan tidak ada. Realistis, sadar akan limitasi sarana dan prasarana di lembaga kebudayaan dan pemerintah sendiri. Pesimistis, karena terkungkung pandangan bahwa kita tidak akan pernah maju dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengubah situasi. Terhadap pemikiran ini, hanya ada satu solusi yang bisa ditawarkan: berhentilah memandang Indonesia sebagai budak dan berhentilah memandang negara asing sebagai penyelamat. Kembangkanlah mentalitas yang sehat dan kuat serta pandangan yang positif untuk masa depan. Juga, terus dukung dan berikan kontribusi aktif terhadap pelestarian benda budaya ini. Mengeluh sambil menerima kenyataan dan memelihara pesimisme tidak akan membalikkan keadaan. Yang bisa dilakukan? Buang mentalitas kolonial jauh-jauh dan mulai bergerak bersama. Jika tidak bisa bergerak bebas, berikan dukungan.
Selain daftar panjang sikap pesimis dan skeptis masyarakat, pemerintah dan museum juga mendapat tantangan dalam menghadapi pandangan yang mempertanyakan relevansi benda budaya ini bagi masyarakat hari ini. Contohnya, salah satu komentar yang menggelitik adalah, "Buat apa? Toh kita mainnya di mall." Kuncinya ada dua: (1) Penanaman kesadaran masyarakat terhadap urgensi pemeliharaan benda budaya melalui beragam channel, pendidikan yang terpenting. Nilai moral seperti ini harus ditanamkan kuat dan dibudidayakan dalam sistem pendidikan kita yang selama ini sangat terpaku pada konten ilmiah saja; (2) Perluas jangkauan museum dan institusi budaya untuk mengintegrasi jauh ke berbagai lapisan masyarakat. Jika dikatakan masyarakat mainnya ke mall, desain sebuah pameran benda budaya di mall atau ruang publik lainnya selain museum. Untuk pihak museum, bereksperimenlah dengan pandangan ini: "Jika mereka tidak bisa datang, kita bawa kepada mereka." Toh, tidak selamanya barang budaya harus bertengger dan diapresiasi di museum saja. Bagaimana pun juga, benda-benda tersebut pernah berada di luar kaca museum. Membawa objek budaya ke ruang publik di luar museum juga dapat mencairkan citra ekslusivitas museum (dan barang benda) sebagai institusi elit, serta semakin mewujudnyatakan peran penting, kedekatan, dan relevansi benda budaya bagi masyarakat.
Langkah strategis
Kita telah mengamati berbagai respon masyarakat, sebagai pemilik nyata dari benda budaya ini, terhadap proses repatriasi barang budaya yang baru-baru saja terjadi. Lantas, apa yang bisa kita lakukan sebagai aktor yang bertanggung jawab dalam pelestarian kebudayaan kita?
Pemerintah (termasuk representasi pemerintah di luar negeri):
Memberikan dukungan dan bantuan riil bagi peningkatan sarana dan prasarana museum dan instansi kebudayaan lainnya. Meskipun dapat bernilai sangat besar, perlu disadari bahwa tindakan ini adalah investasi jangka panjang yang krusial bagi kekuatan identitas bangsa dan masyarakat kini dan masa depan;
Tingkatkan kepercayaan masyarakat (public trust) dengan mengambil kebijakan yang berpihak pada masyarakat;
Memastikan keberlangungan dan pemanfaatan barang budaya Indonesia di dalam dan luar negeri;
Mengamati iklim budaya dan politik dalam dan luar negari demi memastikan kelestarian dan keamanan benda budaya Indonesia;
Mengangkat status museum dari Unit Pelayanan Teknis (UPT) menjadi Badan Layanan Umum (BLU) dan mengkaji undang-undang dan regulasi untuk memastikan optimalnya keberlanjutan aktivitas teknis museum;
Terus melakukan dialog dengan negara dan instansi di luar negeri untuk memastikan kontinuitas repatriasi benda budaya yang memiliki dayaguna tinggi bagi masyarakat, alih-alih hanya terlibat secara insidental dan oportunistik.
Museum dan instansi kebudayaan:
Mengoptimalkan dan meningkatkan sarana dan prasarana bagi terwujudnya keamanan, kelestarian, dan keberlangsungan pemanfaatan benda budaya;
Mengembalikan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap profesionalitas museum, institusi kebudayaan, dan pemerintah;
Senantiasa melakukan refleksi diri mengenai peran institusi akan kebutuhan masyarakat, terutama keberlangsungan relevansi benda budaya bagi masyarakat luas;
Membebaskan diri dari citra eksklusivitas dan mampu menjangkau publik secara mendalam dengan menghadirkan benda budaya ke ruang publik agar dapat dinikmati oleh masyarakat di berbagai relung aktivitas masyarakat, juga agar dapat menarik minat masyarakat untuk mengapresiasi benda budaya di museum;
Rutin berdialog dengan museum institusi, dan pemerintah luar negeri untuk menjaga kelestarian dan pemanfaatan barang budaya Indonesia di luar negeri;
Mengamati iklim politik dan budaya di dalam dan luar negeri, serta melakukan upaya repatriasi benda budaya yang dapat berdaya guna atau menyelesaikan problematika sosial, budaya, dan politik di kalangan masyarakat;
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam institusi dengan melakukan kerja sama dengan museum luar dan dalam negeri agar tercipta transfer ilmu yang sehat dan positif;
Melakukan reformasi atau pembaharuan dalam berbagai bidang, terutama dengan membuka diri selebar-lebarnya terhadap kemajuan teknologi dan iklim permuseuman dunia, membebaskan diri dari tata cara eksibisi, guide, struktur organisasi, dan pandangan saintifik yang tidak mengikuti perkembangan zaman;
Menyarankan kepada pemerintah untuk mengangkat status museum dari Unit Pelayanan Teknis (UPT) menjadi Badan Layanan Umum (BLU) agar dapat mengoptimalisasi kemandirian pengelolaan museum;
Mengadakan program-program pendukung yang melibatkan masyarakat umum, contohnya memperbanyak eksibisi temporer sehingga beragam barang budaya dapat dimanfaatkan secara dinamis serta menawarkan wacana yang baru dan segar bagi masyarakat;
Membuka diri bagi berbagai narasi yang lebih melibatkan masyarakat umum, artinya berbagai kalangan masyarakat, baik dari praktisi kebudayaan, elit maupun berbagai elemen lainnya turut dilibatkan dalam penulisan narasi kebudayaan. Lagipula, kebudayaan Indonesia adalah milik masyarakat yang dinamis dan beragam, serta tidak bisa lagi digeneralisisasikan dengan sebuah narasi yang statis dan stagnan yang ditulis oleh pemerintah maupun peneliti saja.
Masyarakat umum:
Mengubah pandangan pesimistis menjadi optimistis disertai dengan kontrol terhadap kinerja pemerintah dan instansi budaya dalam merawat dan mendayagunakan benda budaya Indonesia;
Mengembangkan sikap toleransi dan menerima berbagai kemajemukan budaya yang ada di kalangan masyarakat, mendengarkan interpretasi budaya atau barang budaya dari berbagai pihak dan menghormatinya;
Mendukung dan memastikan pemeliharaan dan pengelolaan benda dan cagar budaya di museum dan di lingkungan sekitar tempat tinggal. Masyarakat juga dapat memberikan dukungan berbentuk materi berupa hibah, terlebih ketika nantinya status museum ditingkatkan menjadi BLU.
Mengapresiasi dan berpartisipasi aktif dalam dialog kebudayaan, kegiatan kebudayaan, dan aktivitas budaya lainnya di museum maupun instansi budaya lainnya;
Membantu pemerintah dalam proses repatriasi dengan memberikan dukungan penuh untuk menunjukkan kepada pihak-pihak yang terlibat dialog bahwa masyarakat Indonesia memahami arti penting, urgensi, dan relevansi benda budaya yang ingin direpatriasi serta ingin mendayagunakannya bagi kepentingan bersama. Dukungan ini dapat bersifat formal (petisi) maupun non-formal (pandangan dan opini di berbagai forum publik dan media massa). Tindakan ini sangat penting, sebab banyak sekali upaya repatriasi yang ditolak pihak berseberangan dengan alasan bahwa barang-barang tersebut tidak memiliki relevansi terhadap masyarakat, atau lebih parahnya lagi, masyarakat tidak menginginkan benda tersebut, selain pemerintah dan instansi kebudayaan).
Dengan merealisasikan berbagai saran tindakan di atas, saya yakin bahwa upaya repatriasi di masa depan dapat disukseskan dan dilakukan secara kontinu dan objek budaya tersebut dapat memberi bermanfaat besar, terlebih untuk menciptakan identitas yang kokoh bagi masyarakat kini dan generasi mendatang.

Penulis mengamati topeng asal Indonesia di Rautenstrauch-Joest Museum, Cologne, Jerman.
Referensi:
Comentários