On the Nature of Botanical Gardens
- Shu Khurniawan
- Mar 15, 2020
- 8 min read
Updated: May 9, 2020
Update 9 Mei 2020: Kurator Sadiah Boonstra memberikan tur ke pameran ini di kanal Youtube FramerFramed.
Awal Januari 2020, saya berbincang panjang seputar dekolonisasi museum Indonesia bersama Ajeng Ayu Arainikasih, museolog yang sedang menempuh PhD di Leiden University. Mbak Ajeng adalah pengelola website museumtravelogue.com dan juga penulis buku MuseumTravelogue Australia dan MuseumTravelogue Asia. Saat itu, saya tengah membantu Mbak Ajeng memindai buku-buku panduan Museum Geologi yang ada di Perpustakaan Leiden University dan kami kemudian mendiskusikan pasang surut keberjalanan museum geologi (yang dibangun pada zaman kolonial), perkembangan penelitian geologi dan paleontologi, dan kondisi museum geologi masa kini. Seperti museum alam lain yang dibentuk pada masa pendudukan Belanda, disadari maupun tidak, konten dari museum-museum ini terkadang tidak mengalami banyak perubahan, paling tidak, masih mempertahankan sudut pandang dan narasi kolonial akan koleksi objek alam dan budayanya. Pembicaraan kami berlanjut akan sebuah pertanyaan: jika dekolonisasi museum budaya dapat dijabarkan dengan mudah dalam beberapa aspek, bagaimana dengan museum alam? Aspek apa yang bisa didekolonisasi? Sudut pandang dan praktik apakah yang masih dipertahankan dari zaman kolonial, namun sebenarnya sudah irelevan atau bahkan seharusnya ditinggalkan? Kami berhasil merumuskan beberapa pandangan, namun argumen yang dibangun terasa kurang mendalam dan lebih-lebih, impraktikal.
Hingga beberapa hari kemudian saat sedang scrolling newsfeed di facebook, saya melihat sebuah poster kegiatan yang super catchy dengan judul: On the Nature of Botanical Gardens, Contemporary Indonesian Perspectives. Di kolom deskripsi dijelaskan bahwa eksibisi seni kontemporer ini mengkritik praktik dan cara pandang kolonial terhadap kekayaan alam Indonesia dengan menghadirkan sudut pandang artis Indonesia dalam proses dekolonisasi kebun botani (botanical gardens). Saat itu juga saya langsung mengirim link acara itu ke Mbak Ajeng. Sayangnya, saat itu beliau sedang berada di Indonesia, jadi beliau mendelegasikan saya untuk datang ke acara pembukaan, mengambil brosur dan menilai eksibisi itu. Mission accepted!

Poster eksibisi (credit: FramerFramed)
Di hari-H saya datang lebih awal dari jadwal pembukaannya. Ketika mengambil brosur eksibisi di pintu masuk, saya diminta staf resepsionis untuk mengembalikannya di akhir acara karena brosur yang dicetak sangat terbatas (di pertengahan acara, saya melihat banyak peserta yang menghampiri resepsionis untuk meminta brosur, namun harus pergi dengan muka kecewa karena sudah kehabisan). Sembari berkeliling melihat karya seninya, saya menghabiskan waktu dengan membaca brosur tersebut.
Eksibisi ini dikuratori oleh Sadiah Boonstra, Asia Scholar di University of Melbourne, Australia dan Curator Public Programmes di ASIA TOPA, Melbourne, bertempat di FramerFramed Amsterdam, dan berlangsung sejak 24 Januari hingga 26 April 2020. Eksibisi ini, mengutip buku panduan, "mengeksplorasi fenomena kebun botani sebagai tempat kolektif memori dan historiografi, berfokus pada peran kebun botani pada masa kolonial dan perannya dalam terbentuknya relasi kuasa yang hidup hingga hari ini." Menurut sang kurator, untuk keluar dari kungkungan perspektif kolonial terhadap kebun botani yang masih hidup hingga kini, eksibisi ini berusaha untuk "secara aktif menghidupkan kembali relasi dan pengetahuan warisan leluhur asli (indigenous) yang menjadi tidak terlihat dan tidak terdengar di konteks kolonial."
Dalam sambutannya, sang kurator juga menjabarkan tentang sejarah perkembangan kebun botani dan bagaimana peran kolonialisme mengubah tatanan, pemahaman, serta pandangan kita terhadap alam. Dalam filsafat berbagai kebudayaan dunia, alam dan manusia adalah elemen yang tak terpisahkan. Filosofi mengenai keselarasan manusia dan alam terus berkembang hingga pemikiran abad ke-18 yang melihat pemisahan antara manusia dan alam, dan manusia memiliki hak mutlak untuk menguasai, mengeksplorasi dan mengeksploitasinya demi kepentingan ekonomi, pembangunan, dan kekuasaan. Semenjak abad ke-16, bangkitnya ilmu medis dengan menelusuri khasiat bahan herbal membangkitkan semangat peneliti Eropa untuk memburu bahan alam dari tempat-tempat yang jauh, terlebih di Indonesia yang kaya akan rempah-rempah. Kontrol atas penelitian dan pengetahuan mengenai bahan alam juga menjadi sebuah senjata bagi pihak kolonial untuk mengontrol, memperkaya, dan meningkatkan kualitas produk alam di tanah jajahannya untuk kemajuan ekonominya. Dalam upaya kemajuan sains di tanah koloni, dibentuklah sembilan kebun botani yang hingga kini masih berdiri di Indonesia. Eksibisi ini melihat peninggalan kolonial yang masih membekas di instansi alam ini serta mengeksplorasi apa saja pemahaman lokal asli yang diubah, ditinggalkan, dan diorientalisasi oleh peneliti Eropa yang menghasilkan hierarki pengetahuan akan alam.
Setelah berkeliling, secara garis besar saya menilai karya seni yang dipamerkan sangat beragam. Media, konsep, style, bahan, dan dasar pemikiran juga sangat bervariasi, sehingga pengunjung tidak akan merasa bosan atau hilang ketertarikan ketika menganalisanya. Setiap karya seni seakan mengajak kita untuk pergi ke dunia yang baru, menghadirkan perspektif yang segar dan interaktif. Meskipun ruang pamer FramerFramed bisa dibilang tidak terlalu besar, namun variasi dari karya seni ini memberikan value yang tinggi dan kesan yang penuh makna. Terlebih lagi, setiap karya seni juga menghadirkan emosi yang berbeda-beda terhadap sistem kolonialisme yang dikritiknya: ada yang secra eksplisit provokatif, gamblang, dan langsung jump into your head, ada yang sangat subtle, dan ada pula yang sangat interaktif, mengajak kita untuk berpartisipasi dan menjadi bagian dari karya seninya terlebih dahulu untuk dapat memahami makna yang ingin disampaikan. Pemaran ini menghadirkan sembilan karya seni (juga, sembilan artis), beberapa hingga kini masih meninggalkan kesan yang mendalam bagi saya.

Belakang: "Ruwatan Tanah Air Beta" (Zico Albaiquni, 2019) dan depan: "Memory of Nature" (Arahmaiani, 2013-2019)
Karya seni yang menurut saya paling mencolok dan langsung menyita perhatian begitu memasuki ruang pamer adalah karya Zico Albaiquni berjudul "Ruwatan Tanah Air Beta" (2019). Bagaimana tidak, kanvas yang besar dilukis dengan warna stabilo yang sangat mencolok seakan menjadi magnet yang begitu memikat. Dalam karyanya, ia menampilkan berbagai narasi dan aspek sejarah yang ada di Kebun Raya Bogor. Tak hanya itu, ia juga mengangkat makna yang selama ini hilang (atau "dibersihkan") dari narasi kolonial. Misalnya, arca Nandi yang oleh kaum kolonial dipandang sebagai karya seni eksotis dan dibanggakan di museum-museum di Belanda, sebenarnya adalah situs yang sakral bagi masyarakat Sunda. Selain itu, makam Belanda di Kebun Raya Bogor yang sekarang "dilengkapi" dengan taman bermain dengan pagar bambu berakar dari pendangan spiritual lokal, bahwa bambu bisa menenangkan arwah di makam itu.
Tepat di depan lukisan Zico Albaiquni adalah instalasi karya Arahmaiani berjudul "Memory of Nature" (2013-2019). Karya seni ini menghadirkan tanah dalam wadah berbentuk mandala, sebuah konsep representasi dunia dalam filosofi Buddhisme, yang juga menjadi dasar arsitektur Borobudur. Karya seni ini mengajak kita untuk merefleksikan kembali hubungan manusia dengan keseimbangan alam, simbol di balik mandala. Peserta juga diajak untuk menciptakan bentuk mandala dan pola-pola lain dengan menggunakan biji-bijian beraneka warna. Menyaksikan para pengunjung menciptakan pola-pola ini, baik sendirian maupun berkelompok menghadirkan sebuah pesan moral yang kuat yang ingin dibangkitkan oleh sang artis. Duduk di lantai dan bermain dengan objek alam mengembalikan kita ke "akar" jati diri kita, yang menyatu dan hidup rukun antarmanusia dan bersama alam, lepas dari dikotomi alam-manusia yang ditanamkan selama masa kolonial.
Karya seni lain yang membuat saya tidak bisa berhenti tersenyum adalah "Noble Savage Series #4 - #5" (2019) karya Elia Nurvista karena sifatnya yang provokatif namun cukup jenaka. Tidak butuh pemikiran yang rumit untuk memahami karya ini. Dengan mengadopsi lukisan-lukisan aliran still life zaman Golden Age Belanda, sang artis menambahkan beberapa fitur seperti stiker label buah yang umum kita temukan di supermarket. Uniknya, stiker ini tidak berisikan barcode, merk atau logo dari perusahan, melainkan narasi yang candid seperti "Pssst! I'm full of colonial sins" atau "A sweet savory flesh taste from tears of Asiatisch farmers" atau "White flesh peaches from black peasants". Memang, sang artis ingin secara gamblang mengkritik pandangan eksotisme Eropa terhadap produk alam yang berasal dari daerah koloni, yang proses produksinya seringkali tidak adil, berdarah-darah dan penuh dengan ketidakadilan, demi memuaskan nafsu konsumennya di tanah seberang, yang hidup begelimpangan di atas kondisi jajahannya yang dipandang subordinat dan eksotis.

Hortus (Edwin, 2014; credit: FramerFramed, exhibition guide)
Tirai putih memisahkan ruang eksibisi dengan bilik gelap berisi dua buah monitor dan bangku panjang. Di luar, diletakkan sebuah label peringatan bahwa karya seni ini berisi konten dewasa dan menghadirkan scene yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman. Saya kemudian mengambil tempat di salah satu pojokan dan menunggu videonya diputar. Video ini berjudul "Hortus" (2014) karya Edwin, menampilkan dua buah video hitam-putih yang ditampilkan bersandingan. Salah satu monitor menampilkan kisah pertemuan seorang lelaki Eropa dengan wanita Indonesia dalam latar kebun botani, sedangkan monitor lain menayangkan cuplikan film-film pendek dari arsip Eye Film Institute, Amsterdam. Plot yang dibangun di monitor pertama awalnya biasa-biasa saja, sampai akhirnya kedua sejoli ini digambarkan menjalin cinta tanpa sehelai benang pun di tubuh mereka. Siapa sangka, monitor pertama yang awalnya saya pikir menampilkan kisah cinta dan kekaguman terhadap wanita (simbolisasi alam Indonesia), ternyata lebih jauh lagi menampilkan film berkonten seksual-eksplisit.
Saat mengamati kedua monitor ini bersamaan, pesan yang ingin disampaikan sang artis langsung terpampang jelas. Cara pandang eksotisme dari tokoh yang mengambil adegan etnografis di monitor kedua diresonansi dengan jelas oleh pandangan eksotisme dan seksualisasi dari tokoh Eropa terhadap tokoh Indonesia (jajahannya), baik secara eksplisit (manusia) maupun metafor (alam). Dengan kata lain, kolonialisme tidak lepas dari praktik objektifikasi dan seksualisasi alam dan warga jajahannya. Film ini berhasil menimbulkan kesan ketidaknyamanan, rasa awkward, malu, dan mungkin barangkali nafsu penontonnya. Emosi inilah yang ingin dibangkitkan oleh sang artis agar pengunjung dapat "merefleksikan perspektif, kompleksitas dan pandangan akan nostalgia, rasa bersalah, voyeurisme eskplisit, repetisi dan eksploitasi dalam kolonialisme, pornografi dan kebiadaban (perversity)."

"Spectacular Healing" (Lifepatch, 2019)
Di satu sudut, banyak pengunjung yang berdesak-desakan menonton instalasi dua buah video yang menceritakan tentang praktik pengobatan spiritual tradisional yang sepenuhnya memanfaatkan bahan alam. Karya seni berbentuk dokumenter ini berjudul "Spactacular Healing" (2019) karya Lifepatch, berkolaborasi dengan Manguji Nababan. Video pertama menceritakan tentang jamu, sebuah praktik pengobatan dan kesehatan "tradisional" yang memanfaatkan bahan alam, seperti akar-akaran, bunga, biji-bijian, dedaunan, dan sebagainya. Jamu adalah praktik yang berakar dari filosofi bahwa manusia adalah bagian dari alam dan solusi dari ketidakstabilan di diri manusia dan dunia sebenarnya sudah disediakan oleh alam. Saat ini, jamu semakin digeser oleh obat-obat yang dibentuk di laboratorium dan pabrik yang menghasilkan banyak komponen sintetis.
Video kedua menceritakan tentang pengobatan "tradisional" suku Batak yang tertuang dalam kitab panduan hidup suku Batak yang dinamakan pustaha. Pustaha bukanlah sebuah buku yang diproduksi secara massal seperti kitab suci, namun ditulis oleh pendeta adat (datu) yang merekam pengetahuan lokal, hukum, resep-resep obat, dan sebagainya. Saat pendudukan Belanda dan misi penyebaran Injil, ratusan pustaha diambil dan dibawa ke Eropa, hingga berakhir di museum-museum. Salah satu pustaha yang pernah membuat saya tercengang ada di ruang pamer Tropenmuseum Amsterdam. Dalam video ini, pustaha yang mengajarkan ketergantungan manusia pada alam dan hidup seimbang dengannya dikontraskan dengan praktik kolonial yang mengkurasi ilmu botani untuk memonopoli pengetahuan demi kepentingan industri dan ekonomi.
Saya akui, dua video ini adalah karya favorit saya. Karya ini pula lah yang menghadirkan secara gamblang jawaban terhadap pertanyaan saya dan Mbak Ajeng tentang bagaimana mendekolonisasi museum dan institusi alam di Indonesia. Caranya? Dengan menghadirkan pengetahuan "tradisional" dunia Timur ke permukaan dan menyejajarkannya dengan pengetahuan "modern" bikinan dunia Barat, dengan menyadari bahwa pengetahuan "tradisional" bukanlah kolot dan tidak selamanya pengobatan "modern" sifatnya lebih tinggi, mahabenar dan menjadi kiblat dari segala-galanya. Bagaimana menghadirkan keduanya setara, menyadari bahwa keduanya timbul dari kearifan, pengalaman, dan pengetahuan masing-masing, meskipun keduanya memiliki pengembangan yang berbeda-beda bisa menjadi titik awal dari dekolonisasi museum alam.
Masih banyak lagi karya seni menarik yang ditampilkan, misalnya "Tuban" (2019) oleh Ade Darmawan yang menampilkan kombinasi perangkat laboratorium dan buku-buku dengan konten nasionalisme yang menggambarkan tentang ekstraksi kekayaan alam dan perannya dalam ideologi masa Orde Baru. Karya Samuel Indratama berjudul "Putri Penunggu Pohon" (2018) dan "Dewa dan Dewi Penunggu Pohon" (2019-2020) menampilkan kosmologi tetumbuhan dan sosok-sosok penunggu alam yang ada di alam sekitar kita dalam bentuk wayang, membawa kita merenungkan posisi dan makna dari konservasi alam. Karya konfrontatif Ipen Nur berjudul "Perken" (2019) menggambarkan kekerasan yang dilakukan VOC ketika menguasai pulau rempah Banda serta sistem kerja paksa yang mengeksploitasi penduduk dari beragam suku. Juga, karya Sintra Tantraberjudul "Kebun Raya/Kebun Saya" (2020) berisikan artefak dan karya seni yang membangkitkan dialog tentang identitas, masa lalu dan masa kini, eksotisme dan narasi, tentang bagaimana dalam praktik kolonial, "alam bertransformasi menjadi seni, seni menjadi pemikiran, dan pemikiran menjadi narasi."
catatan: interpretasi dari karya seni ini sebagian saya ambil dan sadur dari buku panduan eksibisi agar tidak melenceng terlalu jauh dari intensi kurator dan artis, alih-alih bila diinterpretasikan dengan pemahaman saya.
Comments