top of page

Museum Sophiahof: Melindungi memori sejarah Indonesia-Belanda

  • Writer: Shu Khurniawan
    Shu Khurniawan
  • Apr 16, 2020
  • 10 min read

Updated: Apr 20, 2020

Beberapa minggu sebelum pulang ke Indonesia, saya mengunjungi beberapa museum yang sudah lama menjadi list destinasi museum pilihan saya, salah satunya adalah Museum Sophiahof. Berlokasi di Sophialaan 10, Den Haag, letaknya tidak begitu jauh dari Kedutaan Besar RI, hanya sekitar 10 menit dengan trem atau 20 menit berjalan kaki.


Saya mengetahui keberadaan Museum Sophiahof ketika menghadiri acara Indonesia Now di Amsterdam (12 November 2019), sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh DutchCulture dan Kementerian Luar Negeri Belanda untuk membahas sejarah dan isu-isu terkini seputar Indonesia-Belanda. Saat itu, Museum Sophiahof baru saja diresmikan.


Kisah pendirian Museum Sophiahof dimulai ketika pada tahun 2015, Kementerian Kesehatan, Kesejahteraan dan Olahraga (VWS) Belanda mencetuskan Uitkeringsregeling Backpay (Backpay Benefit System), sebuah sistem pembayaran gaji yang belum dibayar pemerintah Belanda kepada pegawai negeri yang bekerja di Hindia Belanda dan anggota KNIL selama masa pendudukan Jepang (1942-1945). Dengan adanya sistem ini, timbul sebuah urgensi untuk menjaga shared history antara Indonesia-Belanda dengan mengimplementasikan program Collectieve Erkenning (Collective Memories). Berkat kerjasama organisasi Het Indisch Herinneringscentrum, Moluks Historisch Museum, Indisch Platform, Pelita, dan Nationale Herdenking 15 Agustus 1945, terpilihlah rumah mantan Menteri Kolonial Hindia Belanda, Louis Baud (1801-1893) sebagai gedung tempat bertemunya komunitas (keturunan) Indonesia, sekaligus tempat berlangsungnya kegiatan kebudayaan, pendidikan, dan museum sekaligus markas bagi instansi-instansi ini. Pada akhir Juni 2019, museum ini diresmikan oleh Raja Belanda Willem-Alexander.



Saat saya berkunjung, tengah berlangsung eksibisi "Vechten voor Vrijheid" (Berjuang untuk Kemerdekaan) yang bisa dinikmati hingga bulan Mei 2020. Eksibisi ini membahas berbagai jenis resistensi memperjuangkan kemerdekaan semenjak masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda (1942-2945), seperti perjuangan pembebasan Belanda dari cengkeraman Nazi, perjuangan pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Belanda, hingga resistensi Republik Maluku Selatan (RMS) dan Republik Papua Barat (RPB) memperjuangkan kemerdekaannya dari Republik Indonesia. Uniknya, selain mengangkat cerita-cerita sejarah, eksibisi ini juga berfokus pada cerita-cerita individu yang terlibat dalam resistensi dari masa ke masa dan dari lokasi satu ke lokasi lainnya.

Setelah membeli tiket (Museumkaart mendapat diskon 5e), kita akan berjalan menelusuri sebuah lorong yang menampilkan fotografi tentang identitas orang-orang keturunan Indonesia-Belanda. Meskipun sangat singkat, namun kisah-kisah setiap individu seakan memaksa kita untuk merenungkan identitas kita sendiri. Kita juga seakan diajak untuk merasakan berada dalam posisi mereka, yang dihadapkan pada berbagai kondisi kebudayaan dan sejarah yang panjang, sehingga tidak mudah untuk merumuskan sebuah definisi yang jelas mengenai "siapa aku".



Vechten voor Vrijheid

Ketika memasuki ruang eksibisi, kita disambut dengan sebuah label dan video mengenai latar belakang diselenggarakan eksibisi ini. Kita berangkat dari pemakaman Belanda di Ancol, tempat dikebumikannya ratusan pria dan wanita yang melakukan resistensi selama pendudukan Jepang. Namun, apakah resistensi itu? Kapan kita memakai istilah resistensi? Terhadap siapa resistensi ini ditujukan, terlebih dalam konteks kolonial? Kisah-kisah resistensi di buku pelajaran dan cerita populer Belanda sangat terfokuskan pada kisah heroik di vaderland, namun kisah di Hindia Belanda seringkali terpinggirkan. Di pemakaman Ancol, orang-orang Indonesia, Jawa, India, Maluku, Belanda, Indo terletak saling berdampingan. Dalam eksibisi ini, kisah-kisah dan memori akan mereka akan diungkap secara berdampingan pula.


Pendudukan Jepang, pembalikan keadaan

Situasi pelik di Hindia Belanda (selanjutnya disingkat HB) dan negeri Belanda di awal abad ke-20 diwarnai dengan banyaknya gejolak politik. Belanda mengalami pendudukan oleh Nazi, sementara HB belum terlepas dari pendudukan yang sama oleh Belanda. Ketika Jepang melebarkan paham fasisnya ke Asia, posisi politik Belanda atas HB menjadi terancam. Pada saat yang sama, menyikapi terbentuknya Atlantic Charter pada tahun 1941, Ratu Wilhelmina dalam pidatonya tahun 1942 menyatakan ingin menjamin kemakmuran dan independensi daerah koloninya melalui pembentukan sistem asosiasi pemerintahan bersama yang setara, terlepas dari ras dan kodrat penduduknya. Ketika HB diambil alih dan dikuasai Jepang sejak tahun 1942, mimpi ini pun kandas.


Dalam seksi ini, dibahas berbagai produk propaganda Jepang sebagai "saudara tua" Indonesia (Azie voor de Aziaten: Asia untuk orang Asia). Dengan kebijakan ini, posisi orang Indonesia menjadi lebih tinggi dibandingkan orang Eropa dan Indo-Eropa, sebuah pembalikan derajat yang sangat ekstrem setelah ratusan tahun. Namun begitu, sumber daya manusia Indonesia juga diperas. Pria dan remaja diharuskan menyuplai perang dan menjadi tenaga militer, sedangkan kaum wanita banyak yang dirampas sebagai budak seks. Pada masa ini, dibuat sistem "pendaftaran": setiap orang harus mendaftarkan dirinya untuk mendapat kartu berisikan informasi diri dan yang terpenting, identitas rasnya. Dengan kartu ini, orang-orang Eropa ditangkap dan dipekerjakan sebagai buruh pembangunan rel kereta (spoorweg) di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara atau dikirim ke kamp interniran (kamp konsentrasi). Beda halnya dengan golongan campuran Indo-Belanda. Apabila ia bisa membuktikan garis keturunannya Indonesia-nya (Asal Oesoel), ia dapat mengklaim kebebasannya.



Selain golongan-golongan ini, juga diceritakan bagaimana orang Eropa berasal dari negara netral dalam perang, seperti Swiss dan Swedia berhak untuk bebas. Meskipun netral, mereka memiliki andil besar dalam menyuplai makanan, obat, dan kebutuhan hidup melalui organisasi Palang Merah ke rumah sakit dan kamp interniran. Bagian ini berusaha menunjukkan bahwa kondisi perang tidak selamanya kontras hitam-putih, namun konteks sejarah seringkali lebih kompleks dari yang tergeneralisasi.


Satu republik merdeka?

Dengan penjajahan Jepang, semangat nasionalisme di kalangan Indonesia semakin memuncak, dengan tokoh paling utamanya adalah Soekarno. Banyak golongan yang menentang fasisme Jepang yang sangat kental akan sistem derajat dan kelas, sehingga gerakan komunisme bermunculan, terlebih di kalangan orang Tionghoa dan simpatisannya yang memprotes penyerangan Jepang terhadap Tiongkok.


Di sesi ini juga diceritakan tentang peran komunitas Maluku dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sejak tahun 1920-an. Di antaranya adalah Alexander Jacob Patty yang mendirikan Sarekat Ambon, Johanes Latuharhary, dan Johannes Leimena. Pada tahun 1949 setelah pemindahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia, Republik Maluku Selatan (RMS) memproklamasikan kemerdekaannya dari Indonesia, atas "...ketakutan akan hilangnya kedaultanan dan diungguli oleh penyatuan Indonesia" yang kemudian menyulut pertikaian antara Indonesia dan Maluku.



Pada sesi ini, terdapat instalasi bendera Republik Indonesia yang diapit bendera Republik Maluku Selatan dan Republik Papua Barat dan diputar lagu-lagu kebangsaan dan identitas ketiganya, seperti Indonesia Raya, Bengawan Solo, Hena Masa Waya, Maluku Tanah Airku, Hai Tanahku Papua, dan Dari Ombak Besar. Untuk orang Indonesia yang tidak familiar dengan kisah Maluku dan Papua atau yang selama ini mengenal gerakan mereka sebagai gerakan separatis, pada instalasi ini kita dihadapkan dengan "ketidaknyamanan sejarah" dan mengajak kita untuk membuka diri dan pikiran untuk mendengar kisah dari perspektif mereka. Pemutaran lagu-lagu di hadapan bendera ini turut menstimulasi emosi dan sentimen kita terhadap kisah ini.



Ini Kisah Kami

Panel-panel berwarna biru muda saling berjajar dan membentuk lorong yang menggiring pengunjung melangkah menuju sesi selanjutnya. Bisa saya katakan, sesi ini berhasil mengaduk-aduk emosi saya. Konsep dari sesi ini menceritakan berbagai kisah tokoh Indonesia dan Indo-Belanda yang terlibat dalam masa okupasi Jepang di HB serta Nazi di Belanda. Selain kisah-kisah mereka, juga dihadirkan barang-barang pribadi yang semakin meresonansi sentimen yang dibentuk oleh narasi di panel.


Salah satu kisah yang membuat saya meneteskan air mata adalah perjalanan hidup Victor (Vic) Lucas Makakita. Ketika Vic berumur 8 tahun, keluarganya pindah dari HB ke Den Haag. Saat ia dewasa, ia mendaftarkan diri ke Koninklijk Militaire Academie, sekolah militer Belanda di Breda. Ketika Nazi menginvasi Belanda pada tahun 1940 dan Jepang menyerang Pearl Harbour tahun 1941, Vic memutuskan untuk pergi ke HB dan mengabdikan diri sebagai KNIL untuk melawan Jepang. Oleh karena Belanda dan Perancis dikuasai Nazi, Vic harus berangkat ke Swiss dan Inggris terlebih dahulu untuk bertolak ke HB. Pada tanggal 10 Febuari 1942, Vic meninggalkan Den Haag menuju Swiss, namun naasnya tertangkap di Besancon, perbatasan Perancis-Swiss. Tidak lama kemudian, ia divonis hukuman mati. Sebelum eksekusi, ia diberikan kesempatan untuk menulis surat terakhir kepada keluarganya. Kutipan surat tersebut ditampilkan di panel museum, disertai dengan barang-barang pribadi Vic, foto-foto lama, serta korespondensi pemerintah Belanda dan keluarga Vic yang memberitakan kematian Vic pasca-eksekusi.



Selain kisah Vic, juga ada kisah-kisah menarik lainnya seperti Julius Tahija yang bergabung dengan NEFIS (Badan Intelijen Belanda) di Australia, Raden Mas Rawindra Noto Soeroto, anak seorang pangeran Keraton Pakualaman, yang ditangkap Nazi karena melakukan spionase dan harus melangsungkan pernikahannya di dalam penjara, dan Yap Tjok King, pelajar Indonesia di Groningen yang ditangkap karena menolak tunduk kepada Nazi, namun kemudian dibebaskan karena memiliki darah Tionghoa. Kisah yang tak kalah menarik adalah Djajeng Pratomo, yang pernah dikirim ke kamp konsentrasi Nazi di Dachau.

Kemudian, juga dibahas gerakan nasionalis mahasiswa Indonesia di Belanda, seperti Perhimpunan Indonesia yang gencar menyerukan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di Belanda. Sebuah kisah yang jarang diperdengarkan di Indonesia adalah tentang beberapa pelajar Indonesia di Belanda yang kemudian memutuskan untuk bergabung bersama Belanda memerangi Nazi dengan pertimbangan "Eerst Nederland bevrijden, naar Indonesie" (kemerdekaan Belanda dulu, baru kemerdekaan Indonesia). Salah satu tokoh yang gugur dalam perjuangan ini adalah Irawan Soejono, yang peringatan wafatnya diselenggarakan oleh PPI Leiden dan berbagai komunitas Indonesia pada Hari Peringatan Pembebasan Belanda (Bevrijdingsdag) di makam dan lokasi ia ditembak Nazi di Leiden.


Selain itu, juga ditampilkan foto-foto kegiatan mahasiswa Indonesia, contoh-contoh surat kabar dan sarana cetak yang digunakan gerakan bawah tanah mahasiswa Indonesia untuk menuntut kemerdekaan atas Belanda.


Ingatlah aku

Ruangan selanjutnya berkisah tentang peran besar orang Maluku yang berada di Belanda dan HB selama pendudukan Jepang. Kebanyakan orang Maluku mendaftarkan diri sebagai anggota KNIL dan membentuk organisasi lain berbasis kesukuan, seperti Molukks Verzetsgroep yang beranggotakan orang-orang Maluku, Timor, dan Manado ex-tahanan Jepang yang kemudian menjadi informan bagi pasukan Belanda di HB. Selain itu, juga ada Pendjaga Malam Ambon (PMA), organisasi bentukan Jepang yang ditugaskan untuk mengawasi orang-orang Eropa yang belum dikirim ke kamp interniran, namun secara diam-diam mengumpulkan informasi, seragam, dan senjata kepada Sekutu serta melakukan sabotase terhadap Jepang. Ada juga kelompok resistensi di Sumatra yang terdiri atas dominan orang Maluku dan Indo-Belanda yang menyebut dirinya De Rode Zakdoek (Saputangan Merah).


Banyak orang Maluku yang memihak Belanda selama pendudukan Jepang, bahkan Ahmad Soebardo pernah meminta pasukan Indonesia di KNIL agar berpihak kepada Jepang yang kala itu menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Nasib golongan Indo-Belanda juga terpecah. Sebagian menolak menandatangani surat kesetiaan kepada Jepang sehingga mereka harus mendekam di penjara. Sebagian lagi berpihak pada Indonesia, namun ada juga memilih bekerjasama dengan Jepang.


Keunikan identitas ini memaksa mereka untuk memilih jalan yang berbeda-beda, sesuai dengan visi masing-masing, yang sering kali terlepas dari identitas kesukuannya. Keunikan ini juga tercermin dari berbagai kutipan (quotes) dari para veteran peran, saksi sejarah, serta cerita para keturunan korban pendudukan Jepang. Menurut saya, bercampurnya cerita individu yang berasal dari macam-macam latar belakang menjadi sesuatu yang menarik, sebab mengambil sebuah benang merah dan generalisasi tindakan hanya berlandaskan kepada kesukuan dan identitas tertentu adalah kesalahan besar. Di bagian ini, beragam pendapat ditujukan sebagai sebuah bahan refleksi akan identitas kita sendiri.


Yang juga menarik dari ruangan ini adalah ketika membahas mengenai kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan perang kemerdekaan sesudahnya (agresi militer, Bersiap-periode atau politieactie). Narasi yang diangkat mencerminkan sudut pandang Indonesia. Namun setelahnya, juga dibahas mengenai proklamasi Republik Maluku Selatan dan perjuangan rakyat Papua Barat untuk membebaskan diri dari Indonesia. Hal ini memberikan kesan bahwa pihak museum tidak hanya menghadirkan apa yang diperjuangkan oleh orang Indonesia di Belanda (untuk mengakui kemerdekaan Indonesia tahun 1945, alih-alih 1949), namun juga menampilkan sudut pandang dari orang Maluku dan Papua Barat yang ingin memerdekakan diri dan membentuk republik mandiri. Lagipula, hingga saat ini Belanda juga tidak mengekang gerakan kedua republik ini di negaranya.



Menampilkan perjuangan demi sebuah pengakuan

Bagian selanjutnya ditujukan untuk mengkritik rendahnya paparan (exposition) akan kompleksitas kisah perjuangan orang Indonesia, Maluku, dan Indo-Belanda dalam narasi pendidikan sejarah, baik di Belanda maupun Indonesia. Narasi sejarah yang digaungkan selalu bersifat formal dan satu sisi. Sekarang yang tengah dan akan terus diperjuangkan adalah sifat polifoni dari sejarah tersebut, yang berusaha menghadirkan berbagai sudut pandang ke dalamnya.


Dua buah video diputar di layar. Salah satunya adalah dokumenter karya Ajeng Ayu Arainikasih, museolog Indonesia yang menelusuri cerita-cerita resistensi Indonesia melawan Jepang. Ia mewawancarai sejarawan J.J. Rizal, Vicky Toer cucu Pramoedya Ananta Toer, dan Cucu Nuris Aryanto, seorang museolog.


Yang juga menurut saya menarik adalah sebuah instalasi seni berjudul (In)visible karya Albert Lieuwe & Eliza Bordeaux. Cahaya biru dan merah menerangi ruangan silih berganti, memberikan kesan ketidaknyamanan yang datang dan pergi. Di dinding dan tiang instalasi juga terpasang label yang saling bertumpang tindih antara warna biru dan merah. Untuk membacanya, kita harus menggunakan sebuah filter yang diarahkan ke tulisan tersebut. Setiap kali warna lampu berganti, tulisan yang terlihat juga akan berbeda. Hal ini menyimbolkan bahwa narasi sejarah yang kita ketahui telah mengalami proses filtrasi dan hanya dilihat dari satu perspektif saja, sehingga kita harus memakai filter untuk dapat melihat kisah dan perspektif lain yang belum terungkap di belakangnya.



Di akhir eksibisi, disediakan sebuah instalasi di mana pengunjung diundang untuk menuliskan kesan, pesan, juga berbagi cerita mengenai pengalamannya tentang sejarah Indonesia dan Belanda. Mengamati satu persatu kertas yang dipajang, saya melihat banyaknya cerita yang ditulis oleh keturunan kedua dan ketiga veteran Perang Dunia II dan perang-perang sesudahnya. Lima menit membaca kisah-kisah pendek tersebut benar-benar menyentuh hati saya. Dari eksibisi ini, sangat jelas terlihat bahwa perang selalu membawa trauma berkepanjangan yang terus hidup hingga generasi-generasi selanjutnya....



Sum up!

Saat menyelesaikan tour ini, saya tidak sadar telah menghabiskan hampir 3 jam! Meskipun objek yang ditampilkan sangat sedikit, namun label, foto-foto dan cerita-cerita yang ditampilkan sangat banyak. Sayangnya, semua label eksibisi hanya tersedia dalam bahasa Belanda, sehingga pengunjung yang tidak fasih diharuskan melakukan translasi mandiri atau membiarkan dirinya lost in translation. Hal ini sebenarnya dapat dimengerti, sebab target audiens eksibisi ini adalah orang Belanda, Indo-Belanda dan keturunan Indonesia yang menetap di Belanda. Juga, karena konten eksibisi dipimpin oleh Indisch Herinneringscentrum dan Moluks Historisch Museum, konten yang mengangkat tokoh-tokoh Maluku juga dominan. Memang, komunitas Maluku di Belanda sangat besar jumlahnya. Mengingat museum ini juga dibentuk untuk menjaga narasi sejarah Indonesia-Belanda, termasuk mengingat personil KNIL dengan banyaknya orang Maluku yang bergabung, dominannya narasi tentang Maluku sangat bisa dipahami.


Yang sangat saya senangi dari eksibisi ini adalah pilihan pihak museum untuk mengangkat kisah orang perorangan, ketimbang secara kolektif. Oleh karena itu, pengunjung seakan diajak untuk menjadi bagian dan saksi aktif dari kehidupan tokoh-tokoh itu. Pengunjung juga dengan lebih gampang memaknai beragamnya peran komunitas dan individu dalam konteks perang. Siapkan tisu sebelumnya, sebab banyak sekali kisah-kisah emosional yang memaksa air mata mengalir.


Untuk pengunjung yang besar di Indonesia seperti saya, mungkin beberapa narasi yang diangkat cukup mengejutkan. Dengan dikonfrontasi oleh cerita RMS dan RPB, saya menjadi tercerahkan dan dengan pikiran terbuka mampu memahami sudut pandang mereka dalam memaknai identitas dan impian mereka. Untuk memahami konten secara keseluruhan, saya menyarankan pengunjung Indonesia untuk mengenyampingkan ego, menyerap, menambah, menyisipkan kisah-kisah yang ditawarkan oleh museum ke dalam narasi sejarah yang kita pahami selama ini. Niscaya, kita akan menyadari betapa banyaknya relung kosong pemaknaan sejarah yang selama ini kita lewati.


Meskipun objek yang ditawarkan tidak banyak, namun narasi, foto dan detail-detail lainnya sangat banyak dan terlalu sayang untuk dilewatkan. Akibatnya, museum fatigue juga cukup terasa berat. Sangat disarankan untuk rehat sejenak dengan menikmati suguhan restoran museum atau membaca buku-buku yang dijual di toko souvenir. Atau, bila berminat, kita bisa naik ke lantai atas untuk melihat koleksi perpustakaan dan mengunjungi kantor Indisch Herinneringscentrum untuk berdiskusi dengan staf di sana.


Saat keluar dari museum, saya merasa sangat tercerahkan dan semakin berempati dengan keluarga dan para pihak yang terlibat serta menjadi korban berbagai perang dan kekerasan sepanjang abad ke-20. Tidak ada kisah sejarah yang hanya bisa dilihat dari satu sisi. Banyak sekali layer sejarah yang bisa kita kupas dengan mendengarkan dan membuka diri terhadap pengalaman orang lain.


Sambil berjalan ke tram stap, saya mengenakan pin bunga melati yang baru saya beli di toko souvenir museum, logo yang dipakai oleh Indisch Herinneringscentrum, sebuah simbol yang bermakna dan menyentuh. Semoga keharuman melati, bunga khas Indonesia, juga terus menyeruak di negeri nun jauh dari tanah air, agar satu, tiga hingga ratusan generasi mendatang dapat mengecap dan memahami identitas dari darah yang mengalir dalam nadinya. Saya mengencangkan pin itu di kerah jaket musim dingin sambil menanti trem yang akan mengantar saya ke Indies Monument tak jauh dari Museum Sophiahof, untuk mengenangkan jiwa-jiwa yang gugur dalam resistensi mempertahankan kehormatan dan kemerdekaan negerinya.



Comments


SHU KHURNIAWAN

Egnalem, ananym for Melange
\ mā-ˈlänj : a mixture often of incongruous elements

This blog is intended as a safe haven, my chamber of thoughts, where I can pour out my perspectives, challenge my ideas, share my thoughts, and simply be myself. All the posts and pictures are mine, thus I take full responsibility on the contents. Taking the pictures, text and ideas from this website should be consulted beforehand.

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • LinkedIn
bottom of page