top of page

Missiemuseum Steyl: antara Tuhan, alam dan budaya

  • Writer: Shu Khurniawan
    Shu Khurniawan
  • Apr 30, 2020
  • 10 min read

Sejak akhir 2018 saya mencoba mencari tempat ziarah Katolik di Belanda. Memang sulit, karena agama mayoritas di Belanda adalah Protestan (lebih spesifik lagi aliran Calvinist). Setelah berkonsultasi dengan seorang teman asal Flores yang tinggal di Leiden, ia mengusulkan agar saya berziarah ke makam St. Arnold Janssen, pendiri kongregasi SVD (Societas Verbi Divini atau Serikat Sabda Allah) di Steyl. Saya pun teringat beberapa bulan sebelumnya ketika mengunjungi pastor-pastor SVD yang berkuliah di Leuven, Belgia, mereka juga sempat menyarankan saya berkunjung ke Steyl. Akhirnya, pada hari Sabtu, 30 Maret 2019, saya berangkat ke Steyl.


Perjalanan dari Leiden ke Steyl butuh sekitar tiga jam: dari Leiden Centraal, naik kereta dan transit di Schiphol untuk mengganti kereta dengan tujuan Venlo, kemudian dilanjutkan dengan bus hingga tiba di Steyl (halte bus Heijkampstraat, Tegelen). Steyl (atau Steijl) adalah sebuah desa terpencil dekat perbatasan Belanda-Jerman, tepat di pinggiran Sungai Maas (Meuse). Jikaberjalan kaki sekitar lima menit dari halte bus, kita akan menjumpai alun-alun patung Yesus bertuliskan Verbum Dei. Tepat di seberangnya adalah Missiemuseum atau Museum Misionaris Steyl.

Untuk memahami latar belakang pembangunan Missiemuseum Steyl, kita harus terlebih dahulu membaca sejarah perkembangan Steyl dan kongregasi SVD. Saat Gereja Katolik di Jerman ditindas oleh Kekaisaran Prussia dalam peristiwa Kulturkampf, seorang pastor Jerman bernama Arnold Janssen pindah ke Steyl pada tahun 1875. Tidak lama kemudian, ia mendirikan kongregasi SVD. Janssen memiliki visi evangelisasi global mengirimkan misionaris Katolik dan menginjlini negara dunia ketiga. Oleh karena itu, pada tahun 1879, ia mengirimkan misionaris pertama ke Tiongkok. Di tanah misi, kongregasinya berkembang pesat hingga ia mampu mendirikan berbagai basis misionaris di Tiongkok, Argentina, Togo, Papua Nugini, Ekuador, Brazil, Chili, Jepang, Filipina, dan Indonesia (anggota SVD terbanyak berasal dari Indonesia dan saat ini, posisi superior general atau pemimpin SVD sedunia bahkan dipegang oleh pastor Indonesia). Dari berbagai daerah inilah, para misionaris mengumpulkan bermacam-macam objek budaya, religi, dan alam, seperti taksidermi (awetan) hewan eksotis yang kemudian dikirimkan ke markas SVD di Steyl (St. Michael Missiehuis) [1].


Pengumpulan objek ini sesungguhnya adalah praktik yang umum dilakukan berbagai kongregasi Kristen di tanah misi dan tanah jajahan. Fungsinya adalah sebagai bahan ajar misionaris Eropa yang akan diutus kemudian, agar lebih mudah memahami kondisi sosial dan budaya dan berbaur dengan masyarakat di tanah misi tanpa mengalami culture shock. Selain itu, para misionaris ini juga terdorong oleh maraknya perburuan benda-benda eksotis oleh kaum awam, badan pemerintah dan saintis untuk diperjualbelikan atau dibarter dengan kolektor pribadi atau museum lain. Keuntungan yang dikumpulkan digunakan untuk membiayai jalannya kongregasi.


Koleksi yang terus mengalir dari Tiongkok akhirnya membuat markas SVD kehabisan ruang. Pada tahun 1884, Janssen mengubah dua buah ruangan di gedung cetak SVD menjadi sebuah museum. Saat objek-objek dari seluruh dunia tiba di Steyl dan memenuhi ruangan ini, pada tahun 1931, koleksi ini sepenuhnya dipindahkan ke sebuah gedung di seberang Missiehuis yang berdiri hingga hari ini. Tokoh yang paling menonjol dalam perkembangan Missiemuseum adalah Johannes Giessen, atau dikenal sebagai Br. Berchmans yang menjadi kurator (1901-31) dan bertanggung jawab atas layout museum yang menariknya, tetap bertahan hingga hari ini tanpa berubah sedikit pun sejak 1931. Sedari awal berdirinya, Missiemuseum membagi koleksinya menjadi dua kategori: etnografi dan sejarah alam. Seluruh objek koleksi ditampilkan di lantai dasar.

Automatenbär

Feed me, a hungry bear!

Saat memasuki museum, kita akan disambut oleh beruang taksidermi setinggi 1,75 m yang berasal dari Rusia. Beruang ini dibeli Br. Berschmans dari perusahaan Wobke di Lepizig tahun 1932. Yang spesial dari beruang ini adalah sistem mekanik yang ditanam di dalamnya: saat kita memasukkan koin ke selot di dada kiri, ia akan mengeluarkan suara mengaum. Mengingat temuan ini adalah hal spektakuler di awal abad ke-20, beruang yang dikenal dengan Automatenbär ini kemudian menjadi ikon kebanggan warga Steyl.


Di panel sebelah kirinya adalah "puisi dari sanubari sang beruang" yang meminta makanan berupa koin. Pengunjung juga dipersilakan memasukkan koin ke dalamnya namun tidak diperkenankan memegang bagian tubuh si beruang.


Di ruangan sebelah beruang ini diletakkan, kita dapat menonton film dokumenter tentang Steyl, SVD, dan sejarah perkembangan Missiemuseum. Filmnya cukup menarik dan refreshing!



Koleksi Schmutzer: Yesus Jawa di tanah Belanda

Saat berjalan ke ruang eksibisi selanjutnya, kita akan disambut oleh dua patung malaikat berpakaian Jawa dalam sikap sembah. Ruangan ini menyimpan koleksi Jos dan Julius Schmutzer, pemilik pabrik gula di Gondang Lipuro atau sekarang dikenal sebagai Ganjuran, di selatan Yogyakarta pada awal abad ke-20. Jos Schmutzer adalah seorang Katolik yang taat. Sebagai upaya evangelisasi penduduk lokal, ia mendirikan Gereja Ganjuran yang arsitekturnya sangat out-of-the-box, sebab bertentangan dengan arsitektur gothic dan neogothic yang umum pada masanya, gereja ini mengadopsi bangunan tradisional Jawa, termasuk candi, dengan pakem Hindu-Buddha. Tidak hanya itu, Schmutzer juga meminta pematung Muslim Sunda bernama Iko untuk membuat patung Yesus, Maria, dan Trinitas dengan gaya raja/ratu Jawa. Patung-patung Yesus dan Maria bergaya Jawa ini saat ini masih dapat ditemui di Gereja Ganjuran. Iko terkenal dengan karya pahatannya yang elegan dan detail. Empat buat patung karyanya hingga hari ini berada di Indische Zaal, Noordeinde Paleis, Den Haag.


Missiemuseum menyimpan beberapa patung serupa yang semuanya terbuat dari kayu. Elemen-elemen Hindu-Buddha terlihat sangat kental. Wajah Dyah Maria yang dipahat Iko terinspirasi dari patung Prajnaparamita Singasari. Wujud Yesus dibuat serupa dengan Dewa Siwa [2]. Patung Santo Yosef dibentuk mengenakan pakaian ala Jawa sambil memegang bunga lili dan perkakas kayu. Namun yang paling kontroversial adalah dua patung Trinitas. Patung pertama adalah satu sosok yang mewakili Yesus namun memiliki tiga lingkaran cahaya dan bentuk makhota serta burung merpati, yang melambangkan Trinitas. Schmutzer memilih desain ini atas kekhawatiran bahwa Iko, seorang Muslim, akan merasa tersinggung apabila menampilkan Allah (Allah Bapa) dalam rupa manusia. Rupanya Iko merasa sebaliknya. Di patung Trinitas kedua, tiga sosok identik dipahat, masing-masing melambangkan Allah Bapa (kanan, memegang mahkota), Putra (kiri, memegang salib), dan Roh Kudus (tengah, memegang merpati). Yang menarik adalah panjangnya janggut dari ketiga sosok ini: Allah Bapa digambarkan dengan janggut yang panjang, melambangkan kebijaksanaan-Nya menciptakan dunia; janggut Yesus lebih pendek, sesuai dengan wujud Yesus ketika wafat di usia 33 tahun; Roh Kudus tidak memiliki janggut, yang oleh Ayu Utami interpretasikan menyerupai wujud wanita [3], atas dasar sifat Roh Kudus yang lembut dan mengayomi. Sayangnya, tanpa alasan yang jelas, Vatikan tidak menyetujui penggunakan patung Trinitas kedua ini untuk peribatan, sehingga disimpan di Museum Vatikan Roma [3]. Tidak jelas apakah patung Trinitas di Missiemuseum ini adalah reproduksi dari patung yang "disita" Vatikan. Menurut penelusuran saya, kemungkinan besar Iko mereproduksi beberapa patung dengan bentuk yang sama persis.


Sayangnya, saya tidak berhasil menelusuri bagaimana patung-patung ini bisa berakhir di Missiemuseum Steyl. Juga tidak jelas apakah Schmutzer memberikan koleksinya sepulang dari Hindia Belanda tahun 1934 atau setelah ia wafat di tahun 1946.


Kupu-kupu yang lucu, dari manakah engkau terbang?

Di ruangan sebelah, pandangan kita akan dimanjakan dengan objek beraneka warna yang memadati tembok-tembok di seluruh penjuru ruangan. Keempat sisi dinding dipenuhi dengan kupu-kupu, capung, kumbang, laba-laba dan berbagai serangga lainnya yang ditata sangat rapi dalam lemari kaca. Hewan-hewan ini awalnya dikumpulkan oleh Br. Berchmans dalam perjalanan misinya di Brazil. Ketika ia menjadi kurator di Steyl, ia meminta misionaris dari berbagai penjuru dunia, di mana saja SVD membuka lahan misinya, untuk mengirimkan kupu-kupu dan serangga yang unik. Sayangnya, tidak banyak informasi yang disediakan, kecuali label nama daerah secara umum, seperti Afrika atau China, tanpa menyebut lokasi persisnya, atau pada beberapa spesimen, dituliskan nama ilmiah dan nama umum spesies tersebut dalam bahasa Belanda. Di flyer eksibisi, disebutkan bahwa metode menampilkan serangga seperti ini tidak lagi lazim digunakan karena melanggar etika penelitian alam. Alih-alih mengoleksi, peneliti modern lebih suka mengambil data yang dibutuhkan seperlunya, dan membebaskannya kemudian.


Tiga Benua, Satu Ruangan

Saat menginjakkan kaki di ruangan ini, saya serasa terbawa ke dunia seabad yang lalu. Deretan lemari kayu dengan panel kaca disertai penerangan yang muram meningkatkan saya akan masa-masa ketika saya dibesarkan di rumah oma dengan gaya khas kolonial-cina. Lemari-lemari ini dipenuhi dengan objek budaya dan religi dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin, yang semuanya disusun menurut kluster benuanya masing-masing.


Deretan objek di kluster Tiongkok menyita perhatian saya. Objek yang ditampilkan bisa dibilang bernilai tinggi, seperti pakaian tradisional bangsawan, altar leluhur, jimat, patung dewa-dewi, perlengkapan sembahyang Confisuanisme, dan juga keramik-keramik yang sangat indah. Bahkan di klaster Jepang, ada pakaian samurai lengkap dengan pedangnya! Jika melihat patung-patung dewa-dewi tersebut dengan sekilas, kita akan menduganya sebagai dewa-dewi Tiongkok, contohnya Dewi Kwan Im. Namun pada kenyataannya, sosok tersebut sudah di "kristenisasi" dengan menambahkan elemen Kristen seperti ornamen salib. Dengan begitu, kita bisa melihat bagaimana para misionaris Eropa mengadopsi budaya lokal dan mengubahnya seturut paham Kristen, agar bisa lebih mudah dipahami dan diterima masyarakat tanah misi tanpa gegar budaya dan resistensi yang berarti. Hal ini juga dibuktikan dengan foto-foto misionaris Eropa yang memakai pakaian tradisional Tiongkok dalam kesehariannya. Yang tak kalah menarik buat saya adalah sepatu berbentuk kerucut, yang dulu lazim dikenakan oleh wanita-wanita yang kakinya dibebat hingga jari-jarinya terlipat, kaku, dan tajam. Praktik yang disebut "lotus feet" ini menjadi standar kecantikan orang Tiongkok pada abad ke-19. Saya sempat merenung, apakah para misionaris bereaksi keras terhadap praktik semacam ini?


Sementara itu, klaster India dipenuhi dengan kalender, perhiasan, alat rumah tanggga, serta patung dewa-dewi India seperti Krishna, Wishnu, Siwa dan Matsya. Lagi-lagi, patung-patung ini didatangkan sebagai bahan ajar etnografis untuk para calon misionaris, agar kelak dapat digunakan untuk diasimilasikan dengan nilai-nilai Kristen.


Deretan artefak dari Indonesia juga tidak kalah menarik. Patung Dewa Wishnu mengendarai Garuda dan anyaman dari Bali banyak ditemukan. Topeng beraneka rupa, berbagai permainan tradisional, alat musik, miniatur istana dan pura Bali, perhiasan, patung leluhur dari Nias, buah eksotis seperti kepala dan rempah-rempah juga ditampilkan. Seperti koleksi di Tiongkok, terdapat pula patung-patung Maria dan Yesus bergaya Bali yang menyerupai Dewi Sri.


Koleksi Papua Nugini dan Afrika kebanyakan terdiri dari barang sehari-hari, seperti alat masak, pakaian, perhiasan kerang, tas, topeng ritual, patung leluhur. Tak kalah menarik, tombak, panah, perisai dan pisau serta perlengkapan perang juga ditata dengan teratur. Objek-objek asimilasi budaya dan religi juga dipamerkan, seperti patung Maria yang diukir di gading dengan rupa bergaya Afrika.


Hidup lagi dari balik kaca

Bagian terakhir yang menjadi selalu favorit saya adalah pameran taksidermi. Layout pameran taksidermi yang ditampilkan di Missiemuseum sangat berbeda dengan yang pernah saya lihat, misalnya di Naturalis Leiden, namun dalam batasan tertentu menyerupai ruang pamer Museum Zoologi Bogor. Di museum ini, hewan-hewan dikelompokkan sesuai dengan kemiripannya, misalnya kelompok kera dan monyet terletak di satu sisi, sementara di sisi lain adalah golongan kucing raksasa. Uniknya, dalam satu kaca vitrin yang besar dengan diorama yang sama, seluruh elemen hewan digabung menjadi satu, tanpa adanya pembedaan sesuai dengan relung hidup spesifik masing-masing (niche).


Yang sangat saya apresiasi adalah keragaman hewan yang dipamerkan di sini. Ikan kembung? Ada. Siamang? Ada. Anak harimau? Ada. Trenggiling, unta, kangguru, marmut, kasuari, ular boa, ular sendok, koala, lynx? Jelas ada. Mengejutkannya lagi, dua sepasang komodo juga ada di sini! Di tengah ruangan, dipasang diorama sederhana dengan hewan-hewan berbadan besar, seperti bison, kerbau, unta, harimau, zebra, dan jerapah. Untuk ruang pamer yang tidak terlalu besar dan meskipun hewan-hewannya harus ditata dengan sangat rapat, keragamannya benar-benar patut diacungi jempol. Sayangnya, label dari setiap hewan tidak menampilkan asal geografisnya, hanya nama populer dan latinnya.


Sum up!

Tidak sulit membaca museum ini. Tata pamer dan daftar koleksi Missiemuseum benar-benar selaras dengan maksud pendiriannya sebagai bahan ajar para calon misionaris dan juga untuk mengimpresi para pengunjungnya. Kita bisa beranggapan bahwa layout pamer ini tidak lagi relevan dengan kebutuhan hari ini atau bahkan bisa dikatakan freeze in time, namun sebagai living relict dari tata cara eksibisi awal abad ke-20, preservasi layout-nya juga penting sebagai sebuah sebuah bukti untuk mengedukasi masyarakat dan peneliti museum tentang kondisi museum seabad yang lalu.


Begitu dominannya fungsi impresi, hingga informasi mengenai objek dan pameran secara umum tidak disediakan. Barangkali, pada masa itu, label eksibisi tidak begitu penting karena setiap pengunjung akan dipandu, mungkin oleh seorang bruder misionaris, untuk menjelaskan kontennya secara lisan, atau mungkin juga untuk melatih sang calon misionaris akan materi yang dikuasainya sebelum dikirim ke tanah misi.


Apakah objek-objek ini didapatkan dengan cara-cara yang etis? Kita tidak tahu. Benda-benda koleksi misionaris seringkali (dan hampir selalu) tidak dilengkapi dengan informasi yang mumpuni. Sangat jarang ditemukan informasi mengenai kepemilikan, daerah asal, dan cara objek tersebut didapatkan, kecuali dalam beberapa peristiwa yang monumental. Studi yang dilakukan oleh Corbey dan Weener (2015) [4] juga menyebutkan bahwa tidak selamanya objek koleksi misionaris didapatkan dengan cara yang tidak pantas, katakanlah dicuri, dijarah atau dirampas. Barter, pemberian sukarela sebagai souvenir dan simbol kepatuhan juga kadang terjadi. Namun jika tidak ada peristiwa penting yang melatarbelakanginya, informasi provenance-nya seringkali diabaikan.


Misalnya saja, di kluster Tiongkok, Missiemuseum menampilkan dua buah karpet sutra dari Tiongkok dengan label penjelasan yang detail tentang konteksnya, siapa pemiliknya dan nama misionaris yang membawanya. Sang pemilik diketahui bernama Dsou-tien-ziau, sosok terhormat di pemerintahan Tiongkok yang terkenal akan penindasannya terhadap misionaris Eropa. Salah satu korbannya adalah misionaris P. Perboyre yang wafat di tangannya pada tahun 1840. Karpet ini diketahui adalah hadiah untuk Dsou-tien-ziau dari seorang temannya ketika Dsou diangkat naik takhta. Sayangnya, tidak disebutkan bagaimana karpet ini bisa jatuh ke tangan misionaris dan berakhir di Missiemuseum, sehingga kita tidak tahu apakah karpet ini didapatkan dengan cara yang etis menurut standar moral hari ini. Namun begitu, narasi yang diciptakan kental dengan cara pandang Eropasentris, seperti "...kita tidak habis pikir mengapa sosok yang begitu penting dan tinggi [Dsou-tien-ziau] sangat anti terhadap asing..." atau "...kami sangat menyayangkan mengapa di lukisan ini, orang miskin terbelenggu rantai..." Narasi penindasan misionaris juga kadang disampaikan, barangkali untuk membakar semangat calon misionaris agar berangkat secepatnya ke tanah misi dan menunaikan tugas penginjilannya.


Begitu pula dengan koleksi alamnya yang sangat mengesankan. Tidak ada label penjelasan sama sekali tentang asal muasal hewan taksidermi ini. Katakanlah spesimen komodo yang berasal dari Indonesia. Sejauh yang diketahui, komodo hidup pertama kali dibawa dari Hindia Belanda ke Eropa dan Amerika pada tahun 1926 oleh W. Douglas Burden di bawah bendera Ekspedisi Burden. Setahun kemudian, lima ekor komodo didistribusikan dari Hindia Belanda ke kebun binatang Amsterdam, Rotterdam, London, dan Berlin, dan ketika mati, kulit dan tulangnya diawetkan kemudian dipamerkan di museum. Praktik jual beli, barter, dan perburuan komodo menjadi lazim tak lama kemudian. Awetan komodo di Missiemuseum tidak diketahui asal usulnya; ada kemungkinan komodo ini didapatkan misionaris di tanah misi ataupun dari hasil barter dengan kebun bintang Amsterdam, Leiden, bahkan Jerman [5]. Studi tentang provenance komodo dan hewan-hewan lainnya harus ditelusuri dengan detail, namun cukup menantang mengingat jumlah arsip yang masih bertahan di museum ini.


Secara pribadi, saya pasti akan datang kembali ke museum ini jika ada kesempatan kedua. Tata letak dan objek-objeknya sungguh menarik untuk dilihat bahkan diteliti. Terlebih lagi karena gaya pensuasanannya yang jarang ditemukan lagi di museum-museum Eropa. Namun begitu, mengingat letaknya yang cukup jauh dari Amsterdam, mungkin turis mancanegara tidak akan begitu berminat berkunjung. Tapi Steyl tidak hanya menawarkan museum yang unik ini. Kondisi alam Steyl yang begitu asri dengan taman-taman yang luas, arsitektur yang unik, dan banyaknya lokasi doa yang tenang, jauh dari hingar-bingar turis dan keramaian kota mungkin bisa menjadi alternatif short escape dari tekanan hidup di Belanda.


Sayangnya, Missiemuseum Steyl tengah mengalami dilema yang kritis. Kondisi keuangan yang minim, rencana pensiunnya kurator, serta ajuan pendanaan yang ditolak oleh Kotamadya Venlo mengancam keberjalanan museum yang hampir berjalan selama seabad ini [6, 7]. Saat ini, masih dilakukan perundingan tentang masa depan Missiemuseum. Bila tidak ada jalan keluar untuk menyelamatkannya, Missiemuseum akan ditutup per November 2020. Jika ini adalah akhir dari perjalanan bersejarah Missiemuseum, akan dikemanakan koleksi-kolekisnya yang memiliki nilai sejarah tinggi?


Referensi

Comments


SHU KHURNIAWAN

Egnalem, ananym for Melange
\ mā-ˈlänj : a mixture often of incongruous elements

This blog is intended as a safe haven, my chamber of thoughts, where I can pour out my perspectives, challenge my ideas, share my thoughts, and simply be myself. All the posts and pictures are mine, thus I take full responsibility on the contents. Taking the pictures, text and ideas from this website should be consulted beforehand.

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • LinkedIn
bottom of page