Menilik repatriasi koleksi Museum Nusantara Delft dan keris Pangeran Diponegoro
- Shu Khurniawan
- Apr 11, 2020
- 11 min read
Updated: Mar 29, 2022
*Repatriasi (dalam studi budaya dan museologi): kembalinya objek budaya maupun alam yang memiliki patria atau fatherland berupa negara, kelompok asli ataupun aktor lain di dalam sebuah negara (Vrdoljak 2008 denggan sedikit perubahan).

Ex-koleksi Museum Nusantara Delft yang kini berada di Museum Nasional (foto credit: Museum Nasional [a])
Pulangnya Harta Karun dari Museum Nusantara Delft
Pada Januari 2020 akhirnya Indonesia menerima kepulangan 1.500 (atau 1.501 atau 1.499 buah, perbedaan pemberitaan beberapa media) barang budaya yang selama ini tersimpan dan dipamerkan di Museum Nusantara Delft. Pada tahun 2013, museum ini dinyatakan pailit dan diputuskan untuk ditutup. Selama beberapa saat, nasib artefak koleksinya pun terus diperdebatkan, namun akhirnya diputuskan untuk didistribusikan melalui tiga jalur: (1) Distribusi ke berbagai museum dan instansi di dalam Belanda; (2) Distribusi ke berbagai museum dan instansi di luar Belanda, baik di Eropa maupun Asia; dan (3) Dikembalikan ke Indonesia.
Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh tim relokasi [1], setidaknya ada 18.576 objek yang akan didistribusikan. Di samping 1.501 artefak yang dikembalikan ke Indonesia, sebanyak 459 objek akan menjadi koleksi Prinsenhof Museum Delft (sebelumnya Museum Nusantara), dan 3.196 objek akan disimpan di depot (gudang) NMVW. Instansi terakhir ini adalah organisasi yang menaungi empat institusi besar: Museum Volkenkunde di Leiden, Tropeenmuseum di Amsterdam, Wereldmuseum di Rotterdam (ketiganya menyimpan banyak sekali koleksi Indonesia) dan juga Afrika Museum di Berg en Dal.
Selain itu, artefak ini juga didistribusikan ke berbagai museum di Belanda, seperti:
1. Museon Den Haag (museum sains dan budaya global),
2. Museum Bronbeek (museum militer Belanda yang dengan berbagai koleksi Indonesia),
3. CODA Appeldoorn (museum kebudayaan, mendapatkan koleksi perhiasaan Indonesia),
4. Bevrijdingsmuseum Zeeland (mendapatkan beberapa koleksi dari zaman Perang Dunia II),
5. Maritime Museum Rotterdam (mendapatkan koleksi model kapal),
6. Poppenspelmuseum Vorchten (mendapatkan koleksi boneka dan wayang),
7. Amsterdam Pipe Museum (mendapatkan koleksi pipa, opium, sirih, dan pinang Indonesia),
8. Universiteit Bibliotheek Leiden (mendapatkan 16 kitab lontar),
9. Rijksmuseum (?)
dan juga institusi di luar Belanda:
9. Weltmuseum, Austria (mendapatkan kain batik)
10. National Museum of World Culture, Swedia
11. Sarawak Museum, Malaysia,
12. Asian Civilization Museum, Singapura
13. Asia Cultural Center, Korea Selatan
Menurut laporan Tirto, hanya 14.000 koleksi yang ditawarkan ke Indonesia dari 30.000 objek yang dimiliki Museum Nusantara [2]. Setelah tim dari Indonesia (Museum Nasional) melakukan pemilihan, sebanyak 1.500 objek diputuskan untuk dipulangkan ke Indonesia.
Meskipun dalam berbagai forum daring, beberapa orang menyayangkan penyortiran artefak ini alih-alih menerima semua yang ditawarkan, tindakan ini dapat dimengerti mengingat tingginya biaya dan risiko transfer artefak dari Belanda ke Indonesia. Selain itu, banyak artefak serupa yang sudah dimiliki Museum Nasional (tingkat kelangkaan rendah atau tingkat keterdapatan umum). Namun yang paling menarik perhatian saya adalah jika benar bahwa Indonesia hanya ditawarkan setengah dari koleksi yang ada, tentunya ini sangat disayangkan, mengingat artefak ini adalah artefak Indonesia, namun Indonesia tidak dilibatkan sejak awal dalam studi relokasinya dan yang diprioritaskan malahan museum dan instansi Belanda (sesuai pernyataan dalam laporan tim relokasi; halaman 65). Topik ini sebenarnya menyinggung sebuah diskusi akademik yang sudah diperbincangkan sejak lama dan intensif, mengenai "who owns the culture? who owns the artefacts?"
Pada tanggal 23 November 2016, Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte datang ke Indonesia dan memberikan sebilah keris kepada Presiden Jokowi sebagai simbol dimulainya repatriasi benda budaya di Museum Nusantara Delft. Sebagai balasan, Jokowi memberikan sebuah koin Rp1.000. Tidak diketahui apa arti dari pemberian koin ini. [3] Saya sendiri memiliki dua pendapat: (1) Koin tersebut sebagai token pengingat (memento) akan janji repatriasi ini dan (2) Sebilah keris dibalas dengan koin yang tidak memiliki nilai yang tinggi, bisa saja mengintensikan kritik akan nilai (value) dari keris yang diberikan Rutte (atau bahkan 1.500 koleksi yang akan dikembalikan). Kita harus menyadari bahwa pengembalian ini hanya dilakukan di bawah tekanan akan ditutupnya sebuah museum, bukannya lahir dari inisiatif dan niatan baik dari museum atau pemerintah Belanda sendiri untuk mengembalikan benda budaya tersebut sebagai bentuk dekolonisasi.

Serah terima keris Diponegoro di Istana Bogor (foto credit: Tempo [b])
Kembalinya Kiai Nogo Siluman, keris Pengeran Diponegoro
Selain repatriasi koleksi Museum Nusantara Delft, proses repatriasi lain yang baru-baru saja terjadi adalah kembalinya Keris Pangeran Diponegoro. Pengembalian keris ini dinilai sangat fenomenal dan monumental karena, pertama, mempertimbangkan nilai sejarah, estetikanya, serta figur pemiliknya yang adalah seorang pahlawan nasional, dan kedua, pengembaliannya dilakukan secara simbolis lagi oleh Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima kepada Presiden Joko Widodo dalam kunjungan mereka ke Indonesia pada tanggal 10 Maret lalu (setelah enam hari sebelumnya serah terima dilakukan terlebih dahulu di KBRI Belanda).
Keris yang terkenal sebagai Kiai Nogo Siluman ini akhirnya ditemukan setelah dikabarkan hilang semenjak diserahkan kepada Raja Willem I (1831) dan disimpan dalam Royal Cabinet of Rarities (Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden, selanjutnya disebut KKZ). Naasnya, saat KKZ dibubarkan pada tahun 1883, koleksinya disebar ke berbagai museum dan instansi dan beberapa arsip pun ikut luput. Selama beberapa dekade, perdebatan mengenai letak keris ini menjadi topik yang hangat diperbincangkan, baik di kalangan sejarawan Indonesia dan Belanda, maupun oleh para ahli keris dan masyarakat umum, keturunan Pangeran Diponegoro dan orang Jawa pada khususnya. Para sejarawan terus mempertanyakan keberadaan keris ini, seperti Jos van Beurden, dalam bukunya "Treasures in Trusted Hands" (2016) dan Peter Carey, peneliti biografi Diponegoro yang menyarankan pembentukan tim pencarian keris di Belanda, Austria, dan Indonesia.
"Hilang" mungkin istilah yang kurang tepat untuk menggambarkan suasana ini. Sebenarnya, keris-keris yang yang didistribusikan Royal Cabinet bisa dipastikan berada di beberapa museum, namun karena hilangnya arsip, sangat sulit untuk menunjuk mana keris asli Diponegoro. Pada tahun 1983, Lodewijk van Gorkom, dubes Belanda di Jakarta, menerima pesan dari informan rahasia bahwa keris ini berada di penyimpanan Rijksmuseum Amsterdam dan ia meminta kepada Menteri Luar Negeri Belanda agar keris ini dikembalikan dalam momen kedatangan menteri pendidikan RI ke Belanda, sayangnya pesan ini tidak ditindaklanjuti. Upaya pengembalian berikutnya diusulkan oleh Frans van Dongen, penerus van Gorkum, yang menulis surat kepada Pieter Pott, direktur Museum Volkenkunde Leiden, untuk mengembalikan keris tersebut dalam momen 40 tahun kemerdekaan (proklamasi) Indonesia. Namun, Pott menjawab bahwa "pengembalian keris tersebut tidak berkenan (undesirable)" Berdasarkan pernyataan Pott, timbul dugaan yang kuat bahwa Pott sebenarnya mengetahui, atau setidaknya memiliki asumsi akan letak keris ini, namun tidak mempertimbangkan pengembaliannya.
Pott sendiri adalah sosok yang pertama kali melakukan pencarian keris Diponegoro, yang selanjutnya diteruskan oleh Susan Legene, Johanna Leigjfeldt dan kemudian Tom Quist. Berdasarkan riset keempat peneliti ini, setidaknya ada tiga keris di Museum Volkenkunde Leiden yang diduga keris Nogo Siluman. Untuk mengerucutkan opsi-opsi ini, dilakukan pengecekan menggunakan beberapa dokumen:
1. Keterangan dari Jan-Baptist Cleerens, utusan De Cock untuk menemui Diponegoro, yang juga mempersembahkan langsung keris ini kepada Raja Wilem I (korespondensi antara De Secretaris van Staat dengan Directeur General van het Department voor Waterstaat, Nationale Nijverheid en Colonies antara tanggal 11-15 Januari 1831) [4];
2. Kesaksian Sentot Prawirodirjo yang melihat Pangeran Diponegoro memberikan (mempersembahkan?) keris ini kepada Jan-Baptist Cleerens [4]. Tidak diketahui apa itikad dari pemberian keris ini. Peter Carey memiliki dua pendapat: "Entah itu diberikan kepada Cleerens sebagai isyarat gencatan senjata Diponegoro agar diizinkan pergi ke Magelang dan bernegosiasi dengan itikad baik dengan De Kock. Atau bahwa De Kock mengambil keris Diponegoro pada saat penangkapannya di Magelang 28 Maret 1830" [5]; dan
3. Keterangan dan deskripsi oleh Raden Saleh yang pernah secara langsung melihat keris itu di Belanda. [4]
4. Dokumen pameran di Finland 1875. Sebelum Royal Cabinet bubar dan keris ini dipindahkan ke Museum Volkenkunde, ia pernah dipamerkan di Finland (pameran apa tidak diketahui). Nomor keterangan objek di katalog cocok dengan nomor inventaris keris ini. Selain itu, di katalog tersebut juga dituliskan bahwa pemilik sebelumnya adalah Pangeran Diponegoro [6].
Berbekal ketiga sumber ini, Ligjfeldt dan Quist menyimpulkan bahwa keris yang diduga oleh Pott dan Legene adalah salah, dan keris yang mereka identifikasi-lah yang tepat. Pada tanggal 24 Februari, Dr. Sri Margana (sejarawan UGM), Bonnie Triyana (sejarawan, pemimpin redaksi Majalah Historia) dan Dr. Hilmar Farid (sejarawan, Dirjen Kebudayaan RI) diundang ke Museum Volkenkunde Leiden untuk memverifikasi temuan tersebut. Setelah mencocokkan laporan peneliti, dokumen sejarah, dan kenampakan fisik keris tersebut, Dr. Margana membenarkan bahwa keris tersebut adalah milik Diponegoro.
Keputusan tersebut tentunya memberikan napas lega yang panjang, terutama kepada pihak museum dan peneliti Belanda yang selama bertahun-tahun mengalami tekanan dan tanggung jawab moral untuk menemukan keris ini. Euforia juga dirasakan oleh para peneliti, sejarawan dan masyarakat Indonesia secara umum yang sudah menantikan kabar baik ini. Saya sendiri sedang berada di sebuah alun-alun di kota Leiden bersama dengan beberapa teman saat saya menerima berita penemuan ini. Tak ayal, saya pun melompat girang di tengah alun-alun hingga dilihat orang-orang yang duduk di sekitarnya. Bagaimana tidak, sebuah pekerjaan rumah besar bagi sejarawan berakhir sudah!
Pada tanggal 3 Maret 2020, dilakukan acara serah terima keris Diponegoro oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Sains Belanda, Inggrid van Engelshoven dan Stijn Schoonderwoerd, direktur Museum Volkenkunde kepada Duta Besar KBRI Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja. Keesokan harinya, keris tersebut dibawa terbang ke Indonesia oleh tim KBRI dan perwakilan dari Museum Volkenkunde. Pada tanggal 10 Maret 2020, secara simbolis keris Diponegoro dikembalikan ke Indonesia oleh raja dan ratu Belanda kepada presiden Indonesia.
Memicu Perdebatan
Tidak lama setelah pengembalian keris ini, banyak pihak yang meragukan bahwa keris ini bukanlah Kiai Nogo Siluman milik Diponegoro. Keraguan ini disampaikan para ahli keris yang berpendapat bahwa bentuk menyeluruh dan detail dari keris yang dikembalikan tersebut bukanlah nogo siluman, sebab nogo siluman merujuk pada bentuk naga yang tidak memiliki badan, sementara di keris yang dikembalikan, naga tersebut memiliki badan [7].
Perdebatan alot juga berlangsung terutama di twitter antara Bonnie Triyana, salah satu anggota yang diundang untuk memverifikasi kebenaran keris Diponegoro dengan Fadli Zon, politisi dan juga pengoleksi keris. Fadli Zon berpendapat bahwa keris tersebut bukanlah Nogo Siluman, karena dhapurnya adalah Nogo Rojo tangguh era Mataram Sultan Agung. Menurutnya, keris asli Diponegoro masih berada di Museum Volkenkunde. Selain itu, Fadli Zon juga mengemukakan bahwa pada tahun 2017, Indonesia pernah mengirim beberapa ahli keris, termasuk dirinya sendiri, untuk pergi ke Museum Volkenkunde dan memverifikasi temuan museum berdasarkan pengetahuan mengenai seluk-beluk dan bentuk keris. Menurutnya, keris yang dikembalikan ini bukan keris Nogo Siluman, sebab mereka sendiri pernah mengidentifikasi sebuah keris dengan dhapur nogo siluman dalam kunjungan tersebut [8,9]. Selanjutnya, pada tahun 2018, ahli keris Empu Totok Brodjodiningrat dan Empu Basuki Teguh Yuwono diundang ke Museum Volkenkunde dan diperlihatkan tiga bilah keris, namun semuanya tidak memiliki ciri-ciri keris nogo siluman. Sementara itu, Bonnie Triyana menyebutkan bahwa berdasarkan studi provenance (asal muasal, termasuk daftar kepemilikan objek), keris itulah kandidat yang paling memungkinkan untuk disimpulkan sebagai keris Diponegoro.
Selain itu, tulisan Prof. Peter Carey [10] juga dapat menjadi sebuah bahan pertimbangan kembali akan kasus ini. Dalam tulisannya itu, memang ia tidak menyebutkan secara gamblang apakah keris yang dikembalikan adalah benar keris Diponegoro yang hilang. Namun, ia pun mengutip tulisan Prins Hendrik de Zeevaarder yang mendeskripsikan kesamaan antara keris Diponegoro dengan keris Nogo Siluman lain milik SSHB II yang sekarang disimpan di Puri Windsor, Inggris, lengkap disertai dengan gambar perbandingan antara keduanya. Dalam tulisan Pangeran Hendrik, keris Diponegoro memiliki 13 lekuk, sementara keris yang dikembalikan Museum Volkenkunde hanya 11. Kenyataan ini menguatkan argumen Fadli Zon. Namun begitu, dalam wawancara terbarunya [11], Carey menyatakan kepercayaannya pada kesaksian Raden Saleh, yang sesuai dengan deksripsi keris dari Museum Volkenkunde. Selain itu, dia juga menyebutkan sebuah dokumen sejarah lain yang menyebutkan bahwa keris tersebut pernah dipamerkan di Philadelphia, Amerika Serikat tahun 1876. Sebelumnya, dokumen ini tidak masuk pemberitaan media yang beredar luas.
Kesimpangsiuran dan ketidaktransparanan data yang beredar sepertinya akan memperpanjang polemik ini jika pihak museum tidak merilis hasil studi provenance-nya ke publik agar bisa dianalisis oleh para ahli dan masyarakat umum. Selain itu, dengan adanya pendapat antagonistik dari para ahli keris, apakah ke depannya pihak museum-museum di Belanda akan memeriksa kembali seluruh koleksi kerisnya untuk mencari apakah ada keris dengan dhapur nogo siluman yang mungkin adalah keris Diponegoro yang asli, ataukah keris nogo siluman yang disebut Fadli Zon adalah keris Diponegoro yang tepat? Melihat antusiasme dan skeptisisme pihak Indonesia, termasuk sejarawan dan pihak yang mengonfirmasi temuan tersebut akan mengajukan permohonan kepada museum-museum tersebut untuk membuka kembali kasus ini? Entahlah, namun saya sangat berharap akan adanya babak baru dari cerita ini, untuk mengakomodasi pendapat para ahli keris dan menguji ketepatan sejarah yang kabur ini.
Apa yang bisa dipelajari dari dua kasus repatriasi ini?
Pertama, pada kasus Museum Nusantara Delft, kita bisa menyimpulkan bahwa pengembalian ini adalah itikad dari Museum Nusantara Delft yang "terpaksa" mendistribusikan koleksinya karena berhenti beroperasi. Kita tentunya bisa membayangkan, apabila museum ini tetap berjalan, proses repatriasi mungkin tidak akan pernah terjadi. Kasus ini bisa dikatakan bersifat insidental (istilah yang digunakan oleh van Beurden, 2016), terbatas hanya pada saat-saat monumental saja, tanpa adanya proses yang kontinu dan komprehensif yang mencakup seluruh museum Belanda. Selain itu, pada tahun 2013, PPI Belanda menginformasikan kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mengawal jalannya penutupan Museum Nusantara [12], namun sejauh ini saya tidak bisa mendapat informasi kapan tepatnya pihak Indonesia mulai turun tangan dalam kasus ini. Apakah Indonesia baru turut campur setelah ditawarakan 14.000 koleksi oleh pihak museumnya? Jika ya, tentu hal ini sangat disayangkan, sebab apabila Indonesia dapat masuk sejak dini, setidaknya pihak Indonesia dapat memperjuangkan artefak-artefak yang penting, seperti dokumen lontar yang diberikan kepada Universiteit Bibliotheek Leiden. Saya berharap tidak demikian.
Mengenai ini, kita dapat mengkritisi lamanya hibernasi pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan kembalinya artefak-artefak Indonesia di luar negeri, terlebih di Belanda. Sejak repatriasi besar-besaran pada tahun 1970an, sejauh ini saya tidak mendapatkan berita akan inisiatif pemerintah Indonesia dalam proses repatriasi. Pada dekade tersebut, setidaknya ada beberapa objek penting yang dikembalikan ke Indonesia: kitab Negarakertagama (1973), patung Prajnaparamita atau Ken Dedes (1978), rampasan Perang Lombok (1977), koleksi budaya Papua (1975), dan lukisan-lukisan Raden Saleh (1970, 1977). Semenjak itu, repatriasi dapat dikatakan vakum, kecuali proyek kerjasama digitalisasi arsip antara Indonesia-Belanda (1983: pengembalian dokumen Perjanjian Linggarjati dan 1987: pengembalian arsip Yogya). Mengapa Indonesia tidak pernah mengajukan repatriasi lagi setelah tahun 1978? Padahal, banyak artefak dan barang budaya Indonesia di luar sana yang dapat diberdayagunakan untuk kepentingan bangsa, seperti isu nasionalisasi dan intoleransi, penguatan identitas bangsa dan golongan tertentu, mengakui dan mengekalkan ilmu pengetahuan leluhur yang mengedepankan kearifan lokal, dan lain-lain. Meskipun saya sendiri setuju bahwa tidak semua artefak harus dikembalikan ke Indonesia, beberapa objek vital seperti relik kerajaan-kerajaan Indonesia (contohnya insignia Kedatuan Luwu) sepatutnya diperjuangkan pemulangannya.
Kedua, pada kasus pengembalian keris Pangeran Diponegoro, pihak Indonesia tidak dilibatkan secara aktif dalam pencarian keberadaan keris ini. Setidaknya ada tiga periode dimana pihak Indonesia diundang (hanya) untuk memverifikasi atau diminta pendapatnya terhadap studi yang dilakukan secara mandiri oleh pihak museum. Pertama dan kedua, pada tahun 2017 dan 2018 ketika beberapa ahli keris, termasuk Fadli Zon, diundang ke Belanda untuk memberikan pendapatnya mengenai era pembuatan dan informasi lain dari kandidat keris yang diduga milik Diponegoro. Periode ketiga, ketika baru-baru ini tim Indonesia diundang untuk mengonfirmasi kebenaran keris berdasarkan studi provenance yang dilakukan mandiri oleh staf museum. Hal ini patut disayangkan, karena apabila pihak Indonesia ikut serta dalam studi pencarian ini, dapat terjadi transfer ilmu yang positif secara dua arah dan tentunya dapat menguatkan kerja sama saintifik di antara keduanya. Selain itu, dengan menggandeng perwakilan Indonesia ke dalam pencarian tersebut, pihak Indonesia dan Belanda berdiri dalam posisi yang setara, alih-alih sebagai pemberi-penerima, meskipun bukan berarti bahwa pemberi selalu lebih tinggi dibandingkan penerima. Memang, hal ini sangat sulit dilakukan sebab dalam dokumen Return of Cultural Objects: Principles and Process Nationaal Museum van Wereldculturen (NMVW) 2019 [13], studi mengenai objek museum dalam naungan NMVW hanya dilakukan secara internal. Terlepas dari regulasi ini, barangkali tidak menutup kemungkinan proses negosiasi secara diplomatis dan saintifik dengan pihak-pihak terkait untuk membentuk tim riset gabungan (join research team).
Sebagai penutup, saya percaya bahwa kunci sukses repatriasi benda budaya Indonesia ke tanah air hanya ada tiga:
1. Inisiatif pemerintah luar negeri, terutama Belanda, Inggris, dan beberapa negara lain yang memiliki sejarah kolonisasi di Indonesia untuk memikirkan ulang makna, fungsi, dan konteks sejarah dari benda koleksinya. Saat ini beberapa museum, seperti Rijksmuseum Amsterdam sudah mengadopsi pemikiran ini dan menggandeng Kementerian Pendidikan dan Budaya RI untuk melakukan riset terhadap objek rampasan perang [14],
2. Inisiatif dari pemerintah Indonesia beserta para ahli ilmu sejarah, ilmu budaya, ilmu museum, pengamat politik, dan badan pemerintah untuk mengamati iklim museum di luar negeri yang menyimpan koleksi Indonesia. Selain itu dapat secara aktif mengakui, memperjuangkan pengembalian dan mendayagunakan barang budaya baik yang sudah ada di dalam negeri maupun yang masih diupayakan pengembaliannya untuk kepentingan negara dan masyarakat,
3. Inisiatif masyarakat Indonesia (dan berbagai organisasi seni, sejarah, dan budaya) untuk mengapresiasi dan mampu mendayagunakan dan menghidupkan benda budaya dalam memperkaya kehidupan, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, budaya, maupun memperkuat sejarah bangsa. Selain itu, masyarakat juga diharapkan secara aktif memantau, memberi masukan, menuntut, dan mendukung pemerintah untuk memperjuangkan pengembalian barang budaya yang dirasakan dapat memberikan manfaat yang besar.
4. Masyarakat di dalam dan luar Indonesia untuk membuka pikiran, wawasan, dan berdialog dalam menerima pahitnya sejarah, terutama dalam konteks kolonialisme dan perang, memahami dan turut berpartisipasi aktif dalam berbagai proses penyembuhan trauma sejarah, dalam hal ini termasuk proses dekolonisasi melalui pengembalian benda budaya.
Referensi:
[1] Herplaatsing Collectie voormalig Museum Nusantara Delft (diakses 10 April 2020)
[7] https://kumparan.com/pandangan-jogja/kontroversi-keris-nogo-siluman-pangeran-diponegoro-1t00dVZPikc
[12] https://www.antaranews.com/berita/354304/pemerintah-ri-diminta-perhatikan-museum-nusantara-di-delft
Comments