top of page

Mengkritik [skandal seks] Gereja* melalui karya seni

  • Writer: Shu Khurniawan
    Shu Khurniawan
  • Aug 2, 2020
  • 5 min read

Updated: Jul 25, 2021

*Gereja adalah istilah untuk menyebut persekutuan umat beriman, namun dalam konteks tertentu dapat merujuk pada hierarki, institusi dan petinggi-petingginya.


Meskipun bukan barang baru yang mengejutkan, kasus kekerasan seksual di lingkungan Gereja, terlebih Gereja Katolik, sudah menjadi sebuah stereotype, jika bukan rahasia umum lagi. Setelah Desember lalu, para umat dikabarkan dengan liputan kasus kekerasan seksual dalam majalah Warta Minggu Paroki Tomang, diikuti dengan terkuaknya kasus Herkulanus Depok, dan ditahannya Felix Nesi yang melampiaskan kekesalannya terhadap Gereja yang tidak tegas menyikapi dugaan pelecehan seksual oleh seorang pastor, baru-baru ini Tirto dan The Jakarta Post merilis liputan kasus kekerasan seksual di tubuh Gereja.


Mayoritas sikap Gereja, seperti lagu wajib, bisa ditebak dan klasik: berkilah, berdalih, dan (pura-pura) tidak tahu. Pelaku di kasus Herkulanus memang diproses secara hukum, namun perlu diingat bahwa ia adalah seorang awam yang bertanggung jawab sebagai pembimbing misdinar (putra/i altar). Perlakuan tampaknya berbeda jika sang pelaku adalah seorang pastor. Gereja sering menganugerahi impunitas bagi sesama gembalanya dengan cara memindahtugaskan sang pelaku ke daerah lain dengan dalih agar sang pastor bisa merenungi kesalahannya, bertobat, dan memulai dari awal lagi. Brother helps brother. Di pihak lain, korban dibiarkan begitu saja. Ada yang hamil dan membesarkan anaknya sendiri. Di beberapa kasus sang ayah, pastor, bertanggung jawab dengan menafkahinya sampai cukup umur. Tak jarang korban berada di posisi dilematis: pilihan aborsi terasa membebaskan, namun bertentangan dengan ajaran Katolik.


Transfer imam ini dilakukan Gereja atas dasar ajarannya untuk mengasihi dan memaafkan; tidak berlaku lagi hukum lex talionis--mata bayar mata. Apakah secara filosofis hal ini adil? Entahlah. Saya bukan pakarnya mendebat keadilan. Lebih-lebih, Gereja juga membenarkan tindakannya dengan alasan menjaga nama baik agama yang dibelanya, agar umat tetap percaya pada fitrah Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik. Jika Gereja ternodai dengan perangai gembalanya, umat dapat terpecah (mana lagi yang satu?) dan memandang kotor institusinya (mana lagi yang kudus?). Jadi, Gereja lebih suka praktik menyapu debu ke balik karpet, memutasi pastor-pastor bermasalah ke paroki lain, terkadang yang jauh dan berada di pedalaman. "Sukur-sukur" dia bertobat. Umat di paroki sasaran juga dengan polosnya merasa senang, "Wah pastor baru! Pasti bakal jadi angin segar buat pelayanan kita!" tanpa menyadari ancaman atas masa lalu sang pastor (meskipun bisa dibilang bahwa orang bisa berubah karena bertobat).


Saya kerap kali mendengar ajaran, jika bukan semata ungkapan: extra ecclesiam nulla salus yang berarti di luar Gereja tidak ada keselamatan. Frasa ini seakan menguatkan posisi Gereja dalam menjamin keselamatan umatnya. Keselamatan datang dari Kristus sebagai kepala dan Gereja sebagai tubuhnya. Gereja dan Kristus adalah satu kesatuan, mereka adalah mempelai. Sebelum dibaptis menjadi seorang Katolik, saya tergugah sekali ketika mendengar seminar Steve Ray yang menjabarkan kedudukan Gereja dan analogi-analogi yang logis, kaya akan dogma, dan menyentuh hati. Ia mengibaratkan Gereja Katolik sebagai sebuah bahtera yang menghidupi umatnya dengan sakramen: baptisan sebagai penyucian badan, ekaristi sebagai jamuan yang mengenyangkan, dan sebagainya. Tapi bagaimana jika bahtera yang seharusnya menawarkan dan memberi rasa aman ini malah dipenuhi oleh petinggi kapal yang alih-alih melayani dan memimpin, bertindak sebagai perompak, mengganggu keamanan dan harga diri penumpangnya? Apakah masuk akal jika, meminjam analogi ini, juru setir yang berbuat onar ini seharusnya dikurung dan dituntut secara adil, bukannya malahan dipindahtugaskan ke gudang atau dapur di kapal yang sama?


Saya jadi teringat beberapa karya seni yang saya lihat di pameran tunggal Theo Gootjes di Stedelijk Museum Schiedam, Belanda, beberapa bulan lalu. Theo Gootjes adalah seorang ilustrator, seniman sekaligus kritikus politik asal Belanda. Karya-karyanya telihat versatile, sangat konfrontatif tanpa mengandung sugar coating ketika mengkritik Gereja yang patriarkis, dogmatis dan ritualistik ini.

Theo Gootjes, Untitled (Christ on cross), 2017

Salah satu karyanya (Untitled, 2017) adalah patung dan sketsa ilustrasi salib dengan corpus Yesus yang menghadap belakang, seolah-olah membuang muka karena malu. Dalam wawancara dengan sebuah koran lokal, Gootjes mengatakan, "Ketika ada banyak kartun tentang pelecehan [seksual] di Gereja, saya menggambar salib seorang putra altar. Saya menggambar Yesus di tengah, namun menghadap belakang, memunggungi kita, seakan-akan Ia memalingkan mukanya karena malu atas skandal pelecehan ini."


Patung lain yang diletakkan di sebelahnya (Untitled, 2018) terlihat sangat grafik; digambarkan seorang lelaki yang telanjang, hanya mengenakan sepatu putih dan mitra (mitre), dua simbol kepausan. Lehernya terikat oleh seutas tali ke alat kelaminnya yang tengah ereksi. Kepalanya menunduk dan badannya membungkuk. Kakinya yang terlipat sebelah tampak tak seimbang dan siap untuk jatuh. Penuh dengan simbolisme, karya seni ini memberikan sebuah peringatan sekaligus nubuat (prophecy) yang amat tajam dan gamblang.


Jika Gereja--dalam karya ini disimbolkan dengan sosok paus--tetap memanfaatkan nafsu dan keinginan seksualnya (yang disimbolkan dengan ereksi) dalam menjalankan tugas perutusannya, maka tidak lama lagi kekuasaan Gereja akan runtuh. Untuk kembali menegakkan kepalanya dan mendapat hormat, dukungan, dan simpati umat, ia harus melawan nafsu sebaik mungkin untuk melepaskan tali di alat kelamin yang menjerat kepalanya. Hanya cara inilah yang bisa menyelamatkan masa depan Gereja.

Theo Gootjes, Untitled (Pope), 2018.


Gootjes juga membuat sebuah ilustrasi yang dapat menjadi renungan umat beriman dan juga para gembala Gereja. Gambarnya sangat sederhana: gedung gereja yang kecil dan speech balloon besar di atasnya yang tentunya gampang sekali untuk diartikan: "Gereja sebagai institusi selalu omong besar namun isinya kosong." Bukannya memang begitu keadaannya?

Theo Gootjes, Algemene beschouwingen, 1990, Coll. Atlas van Stolk, Rotterdam (cr: Stedelijk Museum Schiedam)


Kasus kekerasan seksual ditanggapi oleh pastor paroki, uskup, bahkan kardinal yang mengaku tidak pernah mendengar laporan akan kasus semacam ini. Bisa saja iya, mungkin juga tidak. Gereja adalah institusi yang penuh dengan simbolisme dan ritual. Semua sakramen, gerak-gerik dalam liturgi, dan semua aspek religi punya aturan, makna, dan sejarah panjang yang harus ditaati. Dalam hal mengaku dosa, sakramen rekonsiliasi ini punya aturan yang sangat mengikat: apa yang diungkapkan di ruang pengakuan dosa tidak boleh dibawa keluar, tidak boleh diceritakan ke orang lain atau dilaporkan ke siapapun. Sekalipun membunuh orang, yang dipandang sebagai dosa besar, pastor tidak diperkenankan melaporkan ke uskup apalagi polisi. Pastor hanya bisa mendengarkan pengakuan, membimbing, dan meminta kesadaran pelaku untuk melaporkan dirinya sendiri ke hadapan hukum. Jika dilanggar (kecuali oleh persetujuan si pengaku dosa), seorang pastor akan dikenakan sanksi ekskomunikasi langsung (otomatis dikeluarkan dari gereja) dan jabatannya dicopot. Ia hanya bisa kembali lagi jika mendapatkan persetujuan dari Vatikan.


Bisa saja para klerus yang kesannya ogah omong ini tidak bisa berkomentar banyak kepada media karena mendengarkan pengakuan langsung dari pelakunya, tapi terikat hukum gereja, jadi tidak bisa diteruskan ke atasan. Mungkin ini juga yang menghambat jajaran tertinggi bahkan setingkat kardinal, sampai mengaku tidak pernah tahu kasusnya semacam ini. Padahal, pelecehan seksual selalu terjadi di mana saja, apalagi di institusi patriarkis yang isinya laki-laki penuh kuasa. Bahkan tak lama setelah saya mem-posting foto karya seni ini di Instagram, seorang kawan lama (perempuan) langsung mengirimkan pesan pribadi dan menceritakan pengalamannya menyaksikan kelakuan pastor-pastor yang menyimpang dari hukum gereja (bahkan ia saksikan sendiri semenjak SD). Tidak hanya memergoki sekali atau dua kali dengan mata kepalanya sendiri, ia bahkan hampir menjadi sasaran kebiadaban sang ayah rohani. Ini kembali menegaskan banyaknya kasus pelecehan seksual yang belum terungkap sepenuhnya; fenomena gunung es.


Di saat lain, ketika saya mendiskusikan masalah ini dengan seorang teman lain (laki-laki) yang terlibat dalam pelayanan Gereja, ia hanya mengatakan, "Seharusnya laporan kasus seperti ini tidak boleh diungkapkan ke publik dan harus menjadi laporan rahasia internal Gereja." Persis seperti apa yang si Kardinal katakan. Lebih-lebih, saat menanggapi karya kritik ini, ia hanya mengatakan, "Tidak pantas mengkritik Gereja! Karya ini terkesan melecehkan!" Tudingan melecehkan dan anti kritik inilah yang membuat institusi agama, entah di agama apapun menjadi tak tergoyahkan karena selalu bersembunyi di balik dua frase itu.


Melecehkan. Jika saya karya seni ini bisa membuat heboh Gereja (dan merasa dilecehkan), kenapa pelecehan-pelecehan yang terjadi sebenar-benarnya, menargetkan anak-anak, orang-orang hierarki rendah, tidak punya kuasa, dan tidak berdaya, yang semuanya dilakukan oleh "orang dalam" tidak lebih menghebohkan? Malahan ditutup-tutupi, disanggah, dan tokohnya jadi playing victim. Sudah sewajarnya kita berpikir dengan wajar toch, dengan akal budi dan hati nurani yang dianugerahkan Tuhan?


Karya seni bisa menjadi sarana kritik, kontemplasi, dan motivasi yang kuat untuk aksi-aksi kemanusiaan, dalam hal ini atas ketidaksucian institusi agama. Pada dasarnya, karya ini adalah perwujudan dari suara orang ataupun umat yang tak punya cukup panggung dan kuasa untuk berteriak. Sepertinya kita di Indonesia butuh lebih banyak seni untuk mengungkapkan kekecewaan atas kegagalan institusi agama, agar mereka yang disasar bisa gampang berpikir secara visual, jika ucapan dan marah-marah hanya "masuk kuping kanan keluar kuping kiri".


Niki de Saint Phalle, Tir (Shooting Altar), 1970, Coll: Stedelijk Museum Amsterdam

Comentários


SHU KHURNIAWAN

Egnalem, ananym for Melange
\ mā-ˈlänj : a mixture often of incongruous elements

This blog is intended as a safe haven, my chamber of thoughts, where I can pour out my perspectives, challenge my ideas, share my thoughts, and simply be myself. All the posts and pictures are mine, thus I take full responsibility on the contents. Taking the pictures, text and ideas from this website should be consulted beforehand.

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • LinkedIn
bottom of page