top of page

Memelihara lisan: merefleksikan Tilik dan Ave Maryam

  • Writer: Shu Khurniawan
    Shu Khurniawan
  • Sep 7, 2020
  • 8 min read

Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah gambar yang kembali marak dibagikan di sosial media setelah Ave Maryam ditayangkan di Netflix. Gambar ini menampilkan ucapan Suster Monic kepada Suster Maryam, sepenggal ucap yang bisa dibilang paling quotable dari film ini: "Jika surga belum pasti untuk saya, buat apa saya mengurusi nerakamu?" Gambar ini tak jarang dibagikan diiringi dua pandangan yang berbeda: (1) Sepenuhnya setuju, dengan anggapan bahwa saya hanya makhluk penuh dosa, selama saya belum bisa hidup suci, saya tidak berhak untuk menghakimi dan mengkritik saudara saya, dan (2) Tidak setuju. Terlepas sebanyak apapun dosa yang kita perbuat, mengkritik dan mengingatkan saudara akan perbuatannya yang tidak baik adalah kewajiban, entah sesulit apapun untuk menerimanya, kritik adalah tindakan yang tepat.

credits: @ussfeeds

Setelah melakukan profiling terhadap pembaginya, saya bisa melihat bahwa kelompok yang mendukung interpretasi pertama adalah teman-teman yang cenderung liberal, individualistis, dan mengusung kebebasan ruang pribadi, sementara kelompok yang kedua adalah yang cenderung konservatif (jika tidak agamis) dan kolektivis. Ketika mencoba bersikap netral dan open-minded, saya mencoba menafsirkan sepenggal kalimat ini dari kedua perspektif. Hasilnya, keduanya punya alasan yang logis dan bisa diterima. Memang benar, kadang sesuatu bisa diinterpretasi dengan banyak cara, namun setidaknya saya ingin melihat pandangan mana yang lebih merepresentasikan maksud yang ingin ditampilkan film ini. Saya kembali ke Netflix.



Melihat konteks

Untuk memahami maksud kalimat ini, kita harus melihat konteks yang mendahuluinya. Di adegan ini, Suster Maryam baru saja pulang setelah menghabiskan waktu berduaan di pantai bersama Romo Yosef (ada sumber yang menyebutkan kalau mereka berenang/bercinta?, tapi adegan ini dipotong karena tidak lolos sensor). Sepulangnya, Sr. Maryam sempat menangis di dalam mobil, bergumul dengan perasaannya, tidak tenang, penuh sesal, merasa berdosa. Begitu pula dengan Rm. Yosef, yang keluar dari mobil, neduh di serambi gedung, dan nyebat dengan nafas yang naik-turun. Ketika masuk ke susteran, Sr. Maryam dikejutkan dengan kue ulang tahun dan lagu happy birthday dari para suster. Setelah menyapa satu persatu, tinggallah Sr. Maryam dengan Sr. Monic, suster senior yang mengetahui hubungan terlarang antara Sr. Maryam dan Rm. Yosef. Di sinilah adegan fenomenal itu terjadi. Sr. Monic berkata, "Saya tahu apa yang kamu rasakan, bertahan dalam kaul atau mengikuti yang tidak terlihat? Jika surga belum pasti untuk saya, buat apa saya mengurusi nerakamu?" Mendengar ini, Sr. Maryam tak kuasa membendung tangisnya.


Setelah memahami adegan ini, rasanya kita bisa dengan lebih adil menafsir maksud quotes yang dipermasalahkan ini. Untuk menjadi seorang romo dan suster, seseorang harus mengucapkan setidaknya tiga kaul, janji atau sumpah yang diangkat anggota relijius: (1) kaul kemiskinan, ia harus melepaskan segala harta duniawi dan hidup dalam kesederhanaan, (2) kaul ketaatan, ia harus menaati pemimpinnya, dan (3) kaul kemurnian, ia harus hidup suci, tidak menikah, dan tidak menuruti nafsu seksualnya. Biasanya, di antara ketiga kaul ini, kaul kemurnian adalah yang terberat, rasanya mustahil untuk bisa melawan hasrat biologis ini, namun kaul tetaplah kaul. Seorang imam dan suster harus berpegang erat pada komitmennya, pada kaulnya. Sr. Monic paham sepenuhnya apa yang kedua anak muda ini rasakan, tentunya sangat sulit bagi kedua pemuda untuk melawan hati dan berteguh dalam kaulnya, seperti yang ia katakan, "Saya tahu apa yang kamu rasakan, bertahan dalam kaul atau mengikuti yang tak terlihat?"


Dalam monolog ini, Sr. Monic sepenuhnya menunjukkan simpati, alih-alih mengacungkan jari pada Sr. Maryam. Dengan satu kalimat, ia bisa mencurahkan isi hati sekaligus kepalanya, ia tahu semua dan ia bisa rasakan semua. I know and I feel. Ia berpikir dengan jernih, menganalisis situasi yang salah, menimbang-nimbang, dan menasihatinya. Ia tidak menghakimi dengan tidak adil. Ia tidak menatap mata Sr. Maryam dengan jijik, mencengkeram tangannya, dan menghujaninya dengan sumpah serapah. Tidak. Ia menggenggam kedua tangan Sr. Maryam dengan cinta keibuan, menatap dia dengan simpati, dan berucap dengan bijaksana. Ia paham bahwa Sr. Maryam sadar akan dosanya dan berkutat dengan penyesalan, dan tidaklah bijaksana untuk kembali mengguyurinya dengan beragam nasihat dan menguliti semua kesalahan pendosa di depan mukanya.


Jika surga belum pasti untuk saya, buat apa saya mengurusi nerakamu? Kalimat ini tidak berisi penghakiman, melainkan refleksi dua arah, bagi dirinya sendiri dan bagi Sr. Maryam. Ia paham bahwa ia juga seorang pendosa, dan setiap orang berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan dosanya sendiri. Namun, kalimat ini juga mengandung sebuah nasihat tak tersirat, sebuah sindiran yang halus, jika bukan suci. Ia mengingatkan bahwa setiap manusia punya porsi dosa yang berbeda-beda, namun seorang pendosa tidaklah sendirian. Ia punya banyak saudara dan saudari untuk bangkit kembali, bersama-sama memberikan kekuatan dan peringatan dalam mengarungi hidup murni ini. Ia mengingatkan, ia menegur, namun lebih dari itu, ia memberikan penguatan, ia memberikan pelukan, ia memberikan penghiburan. Ia tidak berkata, saya tahu beban yang kamu pikul itu berat, yang kamu lakukan itu dosa berat, tapi tidak apa-apa, Tuhan pasti mengerti dan memaklumi. Ia mengoreksi, menunjukkan apa yang salah, memberikan ruang bagi si pendosa untuk merenungi kesalahannya, tapi juga menawarkan bahunya untuk bersandar.


Saya tahu apa yang kamu rasakan, bertahan dalam kaul atau mengikuti yang tidak terlihat? Jika surga belum pasti untuk saya, buat apa saya mengurusi nerakamu?


Dua kalimat yang sederhana namun bijak. Dengan memahami konteksnya, kalimat ini jadi terdengar menengahi kedua perspektif yang kita ulas di awal. Ucapan Sr. Monic tidak sepenuhnya masuk di perspektif pertama, yang sangat ekstrem mengisyaratkan, "Bagiku dosaku dan bagimu dosamu. Tidak pantas engkau mengurusi dosaku, jika engkau sendiri masih bergumul dengan dosamu!" Tidak, Sr. Monic paham akan dosanya, namun ia masih menegur dan menasihati saudarinya dengan bijaksana, tidak menghakiminya secara gamblang, tapi menghakiminya dengan adil untuk menunjukkan bahwa lawan bicaranya berbuat salah.


Meskipun ucapan ini lebih mendukung perspektif kedua, ada aspek yang harus disadari di sini: mengkritik dan mengingatkan saudara akan perbuatannya yang tidak baik memanglah sebuah kewajiban, tapi Sr. Monic menunjukkan bagaimana menghakimi dengan adil, penuh dengan kasih dan empati tanpa membuat si pendosa merasa lebih sulit untuk menghadapi dosanya lagi. Ia sudah mengalami sesal yang mendalam, bukan jatahku yang juga pendosa untuk menguliti dengan mempermalukannya dan menghakiminya dengan berlebihan .


Perihal menegur dan menghakimi

Rasa-rasanya di zaman sekarang, menegur dan menghamiki adalah sebuah tabu, terlebih dalam pandangan modern yang menjunjung kebebasan pribadi, lebih-lebih lagi di kalangan muda. Saya paham tentang fenomena ini, saya pernah menjadi bagian yang mengusung perspektif pertama secaraa mati-matian. Fenomena ini bisa dikatakan lahir dari trauma akan sifat kolektivitas masyarakat yang pada kondisi tertentu melahirkan sikap overcriticism yang tidak adil. Tidak ada yang bisa menggambarkan fenomena ini dengan sempurna selain film pendek Tilik yang naik daun sesaat sebelum Ave Maryam.


Tilik menceritakan tentang sekelompok ibu-ibu yang berangkat dari desanya untuk menjenguk (tilik) Bu Lurah di rumah sakit di kota, sebuah budaya kolektivitas yang mencerminkan kepedulian dan dukungan terhadap sesama. Namun film Tilik juga mengungkapkan sisi lain dari kolektivitas, yang kerap mendiskusikan fenomena yang terjadi di komunitasnya, tidak peduli jika yang dibicarakan adalah ranah pribadi. Dalam film ini, Bu Tejo terlibat adu mulut dengan Yu Ning seputar kehidupan seorang pemudi di desanya, Dian. Bu Tejo menuduh bahwa Dian mungkin terlibat dalam prostitusi, namun dibantah oleh Yu Ning yang meminta Bu Tejo untuk memastikan hal tersebut dengan Dian sebelum mengambil kesimpulan yang tidak adil dari asumsi yang dibuat-buat.


Kita bisa dengan gampang mengatakan bahwa Bu Tejo telah melakukan penghakiman yang tidak adil, dengan memfitnah Dian melakukan hal-hal yang tidak benar tanpa lebih dahulu melakukan penyelidikan. Bu Tejo juga tidak mengonfrontasi Dian dan membicarakannya empat mata, alih-alih mengungkapkannya ke publik, mempermalukannya, dan berusaha memaksa ibu-ibu lain untuk berada di pihaknya. Fenomena seperti inilah yang menurut saya ambil andil dalam melahirkan generasi yang antikritik. Overcriticism makes its way to anticriticism.


Menurut saya, kedua film yang dirilis dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh ini dapat menjadi sebuah bahan renungan yang bijak melalu perbandingan yang kontras tentang bagaimana seharusnya bertindak ketika menegur dan menghakimi saudara kita yang (menurut kita) berbuat salah. Tilik mengajarkan kita untuk tidak mengambil kesimpulan dan pengamatan satu arah, tidak menghakimi tanpa bukti, dan tidak menguak kesalahan seseorang tanpa terlebih dahulu menasihatinya dari mata ke mata. Ave Maryam mengajarkan kita untuk mengkritik dengan halus, menghakimi dengan adil, menawarkan kekuatan dan juga kasih. Meskipun kedua film ini dibungkus dengan emosi yang berbeda, keduanya menawarkan refleksi moral yang sama. Tilik seakan-akan membuka jalan bagi Ave Maryam dalam hal transmisi nilai moral.


Konteks Biblis tentang menegur dan menghakimi

Bacaan ibadah Katolik kemarin, Minggu 6 September 2020 menurut saya adalah sebuah momen yang pas di tengah diskusi tentang hal menegur dan menghakimi yang diangkat kedua film ini.


"Jika engkau tidak berkata apa-apa kepada orang jahat, Aku akan menuntut pertanggungjawaban atas nyawanya dari padamu" (Yehexkiel 33:7-9)


"Apabila saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu, engkau telah mendapatkannya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lain, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai." (Mat 18: 15-17)


Kedua bacaan tersebut cukup untuk menjelaskan bagaimana sikap kita: menegur adalah sebuah kewajiban. Kita bertanggung jawab terhadap seseorang jika kita tidak menegurnya meskipun kita dengan jelas melihat kesalahannya, setelah yakin bahwa tindakannya benarlah sebuah kesalahan (menghakimi dengan adil). Yesus lebih-lebih menjelaskan bagaimana kita menegur: pertama dengan berbicara langsung secara empat mata. Jika tidak didengarkan, bawa dua atau tiga saksi, saksi yang mengamati semuanya dengan adil dan dengan bukti. Barulah bawa ke hadapan jemaat jika nasihat kita juga tidak didengarkan.


Dalam kasus Tilik, tindakan Bu Tejo yang mengumbar "kesalahan" Dian di depan umum tanpa tahu konteksnya dan tanpa melalui dialog empat mata tentu tidaklah tepat. Bagaimana pun juga, kita dituntut untuk mendengar pihak seberang dan menghakimi dengan adil setelah mengetahui konteksnya dari pihak yang berseberangan. Kisah tentang Yesus dan wanita pezinah memberikan konteks yang lebih sempurna perihal menghakimi dengan adil.


"...Ia [Yesus] pun bangkit berdiri dan berkata, "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu" ...Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?" (Mat 8: 7-10)


Ayat ini biasa dipakai oleh kelompok antikritik untuk membenarkan tindakannya dan mengusir kelompok yang mengkritiknya, mengutip "Jika surga belum pasti untuk saya, buat apa saya mengurusi nerakamu?" secara membabi buta. Yesus saja tidak menghakimi, siapa kamu yang pendosa? Namun kita seringkali lupa akan ayat terakhir yang mengikutinya:


Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang" (Mat 8: 10-11)


Yesus tidak menghukum, namun Ia memberikan teguran dan menasihati untuk tidak berbuat dosa lagi. Ia tidak mengakimi terlebih dahulu sebelum memberikan teguran secara empat mata. Pun, mengenai perihal menghakimi, Ia berkata dalam beberapa ayat sebelumnya:


"Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil" (Mat 7:24)


Untuk menghakimi dengan adil, kita dituntut untuk mendengarkan dan melihat konteks dengan jelas sebelum memberikan teguran. Inilah yang diperbuat oleh Sr. Monic terhadap Sr. Maryam: ia mengamati, memahami kondisinya, memosisikan dirinya sebagai Sr. Maryam dan Rm. Yosef, paham bahwa tindakan mereka adalah salah (yang juga sudah terbukti dengan penyesalan keduanya), baru kemudian menasihatinya dengan penuh empati dan kasih sayang keibuan. Ia tidak melempar batu seperti yang akan dilakukan ahli Taurat dan kaum Farisi, namun bertemu secara empat mata dan memberikan nasihat seperti yang Yesus lakukan.


Refleksi

Sebagai pendosa, apakah kita terlena dengan kecenderungan masa sekarang yang tidak mau ditegur, meskipun teguran tersebut benar adanya? Juga sebagai pendosa, apakah kita sudah melaksanakan kewajiban untuk menegur saudara kita dengan adil, mata bertemu mata, tanpa menghakimi secara membabi buta, dengan terlebih dahulu mendengarkan perspektifnya, memosisikan diri kita di tempatnya, dan membuka tangan untuk membantunya melewati dosa dan memanggul salibnya?


Menurut saya pribadi, kedua film yang kita bahas di atas membuka pintu yang lebar untuk merenungkan dan merefleksikan tindakan kita ketika memberi dan menerima teguran. Keduanya hadir dalam konteks yang sempurna kepada masyarakat, yang di satu sisi, melalukan overcriticism, dan disisi lain bersikap apatis, oversensitive, dan antikritik. Semoga kita bisa berlaku dengan adil dan bijaksana, sebagai pemberi dan penerima.


Sumber gambar Tilik dan Ave Maryam.

Comments


SHU KHURNIAWAN

Egnalem, ananym for Melange
\ mā-ˈlänj : a mixture often of incongruous elements

This blog is intended as a safe haven, my chamber of thoughts, where I can pour out my perspectives, challenge my ideas, share my thoughts, and simply be myself. All the posts and pictures are mine, thus I take full responsibility on the contents. Taking the pictures, text and ideas from this website should be consulted beforehand.

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • LinkedIn
bottom of page