top of page

Lima Bacaan Bertema Paleontologi untuk Mengisi Liburan!

  • Writer: Shu Khurniawan
    Shu Khurniawan
  • Jul 25, 2021
  • 6 min read

Bosan tiduran di kasur sambil maraton film di Netflix? Atau PPKM tidak memungkinkan kalian keluar kota? Butuh bacaan yang menyenangkan tapi cukup berbobot supaya otak tetap sedikit hangat untuk memulai semester depan? Siapkan kursi ternyaman, lampu terhangat, dan cemilan favorit kalian, karena lima bacaan bertema paleontologi ini siap menemani liburan semester ini!


The Man Who Found the Missing Link

Pat Shipman | 2001 | Simon & Schusters | 580 halaman

Siapa yang tidak kenal Eugene Dubois? Namanya barangkali telah kita dengar sejak belajar sejarah di bangku SMP. Nama Dubois (baca: Du-bwa) telah lama melegenda tak hanya di Indonesia, namun di seluruh dunia berkat penemuannya yang fenomenal dan mengubah paradigma hakikat manusia di awal abad ke-20.


Saat teori Darwin mulai marak diperbincangkan, Dubois rela meninggalkan karirnya sebagai dosen di Amsterdam, mendaftarkan diri sebagai paramedis militer, dan berlayar ke tanah Hindia Belanda untuk mencari missing link. Kerja kerasnya akhirnya terbayarkan pada tahun 1891 saat mandor dan warga lokal yang dipekerjakannya menemukan pecahan gigi, tengkorak, dan tulang paha manusia purba yang ia namakan Pithecanthropus erectus (nantinya diubah menjadi Homo erectus).


Pat Shipman menggubah dengan indah kehidupan Dubois sejak masa kecilnya, masa-masa di Hindia Belanda, detik-detik penemuan spektakulernya, hingga kehidupan akademis dan pribadinya setelah menjadi selebriti dunia. Berbekal arsip pribadi Dubois, foto-foto, dan dokumen sejarah, buku ini membawa pembaca memahami kerasnya iklim akademia di abad ke-20 dan menggambarkan bagaimana perjuangan menjadi seorang peneliti yang sukses membutuhkan dedikasi, kejujuran, dan pengorbanan tiada akhir.


Satu hal yang saya gemari dari buku ini adalah ketidak-seganan sang penulis untuk menampilkan sisi Dubois yang jarang disorot, terlebih saat ia mengalami paranoia ekstrem berkepanjangan akibat segala kontroversi, tekanan, dan tuduhan yang dilemparkan kolega akademisnya tentang identitas hominin temuannya (Di koleksi Naturalis Biodiversity Center Belanda, saya pernah melihat kaleng permen berisikan sederet gigi asli Dubois yang menurut sang kurator, dicabut oleh Dubois sendiri pada masa sulit ini untuk membuktikan bahwa Pithecanthropus miliknya adalah missing link sesungguhnya!).


Buku ini layak dibaca karena bahasanya yang ringan, berbobot secara akademis, bersumber dari arsip terpercaya, serta sangat relevan dengan Indonesia.


Java Man: How Two Geologists Changed the History of Human Evolution

Garniss Curtis, Carl Swisher, and Roger Lewin | 2000 | Little, Brown, and Company | 256 halaman

Cerita ini berangkat dari perjalanan tim riset Curtis dan Swisher ke tanah Jawa untuk bertemu dengan Teuku Jacob, paleoantropologi terkemuka Indonesia. Jacob telah mempublikasikan temuan-temuan fosil manusia purba dari Mojokerto, dan Swisher beserta Curtis ingin melakukan penanggalan absolut (absolute dating) untuk mengetahui umur dari fosil ini. Tanpa melakukan penanggalan, tentunya fosil ini akan kehilangan konteksnya; kita tidak bisa memosisikan temuan ini dalam narasi besar perkembangan hominin di seluruh dunia.


Penanggalan atas fosil ini menghasilkan angka 1,8 juta tahun yang lalu, angka yang cukup fantastis karena pada akhir tahun 1990-an, nominal ini melampaui fosil tertua Homo erectus dari situs-situs paleontologi lainnya. Sedikit follow up dari buku ini, angka ini kemudian ditolak oleh paleontologis dunia karena dicurigai berasal dari mineral hornblende yang berumur lebih tua namun terendapkan dalam batuan sedimen yang dianalisis (selain karena hampir semua penanggalan oleh lab Swisher pada fosil dari berbagai situs dunia menunjukkan angka yang serupa: 1,8 juta tyl).


Tak hanya perjalanan di Indonesia saja yang menjadi pusat perhatian. Dalam buku ini, juga dihadirkan kisah yang panjang dan menarik (meskipun tragis) tentang perjuangan Garniss mempertahankan laboratoriumnya yang terancam ditutup akibat politik universitas yang dinilainya tidak adil. Konflik ini dibumbui dengan drama yang sangat pelik, penuh sabotase dan lobi akademik yang alot, yang secara gamblang mencerminkan kerasnya akademia dan kekuatan politik di institusi pendidikan dan riset. Saya mendapat kesan bahwa buku ini ditulis sebagai memoir Garniss, sebuah upaya untuk meluruskan sejarah dan memperbaiki reputasi akademiknya.


Hal lain yang juga tak kalah menarik (dan cukup penting untuk menjadi bahan refleksi kita bersama) adalah kesaksian tim ini ketika berurusan dengan birokrasi dan lobi yang rumit. Pada hari kedua bekerja di lab Jacob, secara mendadak Garniss dan timnya tidak diberi akses untuk melihat dan mengambil sampel tanpa pengawasan Jacob karena hari itu, Jacob berada di luar kota dengan alasan urusan mendadak, padahal sore hari sebelumnya, ia berjanji untuk menemui mereka keesokan harinya (mereka menduga bahwa sebenarnya dinas Jacob tidak mendadak, namun digunakan sebagai alasan untuk menghindar dan menjaga eksklusivitas fosilnya untuknya sendiri; namun kita juga perlu dengan bijak mempertimbangkan argumen dari pihak Jacob). Praktik eksklusivitas ini sebenarnya masih berjalan di Indonesia, dan barangkali buku bernada kritik ini bisa menjadi bahan renungan bagi paleontologis Indonesia kini untuk mendobrak tembok eksklusivitas dan senioritas, serta membuka pintu kolaborasi.


Roger Lewin menggiring pembaca ke dalam petualangan yang mendebarkan, penuh dengan detail dan cliff hanger yang dapat menyulut antusiasme tiada henti. Latar belakang saintifik juga dihadirkan dengan ringkas namun berbobot untuk memperkaya pemahaman pembaca yang kurang familiar dengan perkembangan riset paleontologi dunia dan Indonesia.


A New Human: The Startling Discovery and Strange Story of the "Hobbits" of Flores, Indonesia

Mike Morwood & Penny van Oosterzee | 2009 | Rouletge | 228 halaman

Seperti buku Java Man, buku ini mengisahkan penggalian yang monumental, kali ini bertempat di Liang Bua, Flores. Lokasi ini adalah rumah bagi hominin purba yang berukuran kerdil (dewasa: 1,08 m) yang diberi nama Homo floresiensis. Tengkorak ini didaulat sebagai salah satu temuan yang merevolusi pemahaman tentang manusia purba dan kemampuan adaptasi kita mengikuti tekanan alam.


Konteks yang disajikan Morwood mengenai sejarah penelitian paleontologi di Flores, lokasi, latar geologi, kehidupan penduduk, dan keseharian penggalian di lokasi ini cukup membuat pembaca terpikat melalui tata bahasa yang sederhana dan narasi yang mengalir.


Bukan dunia akademis rasanya jika sebuah temuan yang revolusioner tidak diikuti dengan drama yang membuat hati berpacu. Buku ini kembali menampilkan sosok Teuku Jacob sebagai pihak antagonis (sekali lagi, kita juga perlu mempertimbangkan tindakan Jacob dari perspektifnya). Kali ini, ia dan sosok di institusi terkait kembali diangkat melalui pelanggaran-pelanggaran etika akademik yang pelik. Melalui buku ini, kita diajak memahami kerasnya pertikaian, sabotase, nasionalisme, dan kentalnya senioritas dalam akademia.


Buku ini tak hanya menampilkan perjalanan penemuan dan analisis fosilnya, namun kita juga dibawa menyelami dilema penulis pada berbagai fase karirnya. Pembaca akan terbawa dalam alur bacaan yang ringan namun sangat berbobot, serta memahami bahwa kisah-kisah fiktif yang ditampilkan di film fiksi juga benar-benar terjadi di dunia akademis yang nyata.


Woolly: The True Story of the Quest to Revive One of History's Most Iconic Extinct Creatures

Ben Mezrich | 2017 | Atria Books | 293 pages

Ini adalah kisah dramatis tentang upaya menghidupkan kembali hewan purba dari permafrost Siberia. Berkat preservasi yang sempurna, tubuh mammoth mampu terjaga keutuhannya selama ribuan tahun. Sayangnya, akibat perubahan iklim yang memanas, es dan permafrost perlahan mencair, menyingkap tubuh raksasa ini ke permukaan.


Buku ini bercerita tentang upaya ahli genetika dari Harvard, perusahaan kloning di Korea Selatan, dan ahli konservasi di Rusia untuk mengembalikan mammoth sebagai subjek yang layak dan tepat untuk menghidupkan kembali tanah Siberia yang tandus.


Biografi tokoh-tokoh kunci yang terlibat dalam penelitian ini diceritakan dengan detail dengan alur yang melompat-lompat, menciptakan cliff hanger antarbab yang memaksa pembaca untuk terus membalikkan halaman tanpa jeda.


Saat tiba di epilog, pembaca tak hanya akan dipicu untuk merenungkan perkembangan teknologi genetika yang berkembang sangat cepat, namun juga akan bergumul dengan masalah etika yang menyelubungi penelitian ini: Pantaskah kita bermain-main, memosisikan kita sendiri sebagai Tuhan?


The Sixth Extinction: An Unnatural History

Elizabeth Kolbert | 2014 | Henry Colt & Co. | 336 halaman

Setiap bab dalam buku ini adalah rangkaian esai tematik oleh jurnalis lingkungan terkemuka, Elizabeth Kolbert. Sesuai judulnya, Kolbert menyorot fenomena kepunahan (massal) yang tengah berjalan hari ini, detik ini juga, dengan bercermin pada fenomena-fenomena kepunahan organisme sebelumnya, semenjak bumi terbentuk 4,6 milyar tahun yang lalu.


Kepunahan massal ke-enam yang digunakan untuk judul buku ini adalah sebuah istilah yang terkesan prematur (dalam skala geologi), namun juga terlambat (dalam kacamata biologi). Dengan memahami konteks dan berbagai alasan kepunahan organisme dari masa ke masa: pemanasan global, letusan gunung berapi yang menyesakkan paru-paru, tingginya kadar oksigen hingga menjadi racun bagi darah, pembaca dibawa untuk merenungkan peran kita sebagai agen emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global, yang mengancam kehidupan berbagai organisme, termasuk manusia sendiri.


Namun bukan manusia namanya jika kecerdasan supernya yang bangkit akibat keuntungan evolusi berkepanjangan tidak bisa dimanfaatkan untuk memutarbalikkan keadaan, yang ironisnya, ditimbulkan oleh ulah ras kita sendiri, Homo sapiens sapiens. Kolbert membawa kita menjelajahi berbagai upaya para peneliti, NGO, dan relawan dalam menghentikan atau setidaknya memperlambat progres katastrofi ini. Saat pembaca menutup halaman terakhir, secara tidak sadar kita akan tergerak untuk mengambil peran, sekecil apa pun caranya, untuk menyelamatkan bumi dan kelangsungan organiknya.


Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Gramedia. Selain karena konten esai yang cerdas dan ditulis dalam bahasa yang menyenangkan dan provokatif (meskipun memuat rangkaian cerita tragis) berdasarkan sumber investigasi yang akademis namun down-to-earth, hingga dianugerahi Piagam Pulitzer, saya sangat merekomendasi bacaan ini kepada pembaca terutama karena urgensi kita sebagai geologis untuk memahami dinamika Bumi secara menyeluruh dan detail, tidak hanya tentang masa lalu, namun juga demi masa depan. Bagaimana pun juga, geologi tidak hanya berprinsip pada "the present is the key to the past", tapi juga "the past is the key to the future".


***


Sukiato (Shu) Khurniawan adalah peneliti paleontologi dan geologi kuarter sekaligus dosen di Departemen Geologi Universitas Indonesia.

Comments


SHU KHURNIAWAN

Egnalem, ananym for Melange
\ mā-ˈlänj : a mixture often of incongruous elements

This blog is intended as a safe haven, my chamber of thoughts, where I can pour out my perspectives, challenge my ideas, share my thoughts, and simply be myself. All the posts and pictures are mine, thus I take full responsibility on the contents. Taking the pictures, text and ideas from this website should be consulted beforehand.

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • LinkedIn
bottom of page