Mentranslasi pesan Antroposen ke dalam karya seni
- Shu Khurniawan
- Apr 8, 2021
- 11 min read
Sebuah pengalaman berkesan yang tentunya mengubah hidup saya (terkesan cliche, namun begitulah adanya) adalah ketika melakukan tugas akhir mata kuliah Heritage and Museum Studies II, saat saya masih studi Master di Fakultas Arkeologi, Universiteit Leiden tahun 2018-2020 lalu.
Setelah empat bulan bergumul dengan berbagai konsep preservasi situs budaya, meaning and relevance, dekolonisasi museum, repatriasi objek budaya, tata kelola museum, dan manajemen situs arkeologi, kuliah minggu terakhir ditutup dengan sebuah kuliah provokatif, diakhiri dengan refleksi mendalam atas The Heritage of Modernity: budaya kontemporer macam apa yang akan menjadi heritage di masa depan?
Hasil refleksi ini harus kami translasi ke dalam bentuk karya seni konseptual (conceptual art) yang rencananya akan disajikan dalam bentuk eksibisi temporer, entah di stasiun Leiden Centraal atau di lobi gedung fakultas (cukup timpang memang).
Lumayan berkesan, karena memang ini kali pertama saya menciptakan karya seni sendiri, setelah baru beberapa bulan sebelumnya jatuh cinta dan belajar secara otodidak mengapresiasi seni kontemporer. Sangat mengubah hidup, karena paradigma saya menjadi tergoncang: bagaimana kita sebagai saintis (dan...well, artis dadakan) melakukan komunikasi saintifik kepada publik tanpa melalui channel-channel mainstream seperti video Youtube, artikel sains populer, atau eksperimen a la Bill Nye dan Professor Proton (shout out to every The Big Bang Theory megafans reading this), namun melalui karya seni.
Well, memang batas antara sains, dalam hal ini geologi, dan seni sudah blunder dari sononya. Ada beberapa anggapan bahwa geologi bukanlah sains, tapi art, karena secara epistemologi, pekerjaan geologi ya interpretasi, dan interpretasi itu adalah art, seni: subjektif dari kepala-per-kepala. Salah satu pameo terkenal geologi adalah there will never be two exactly similar geologic maps; dua geologis pasti menghasilkan dua peta geologi yang berbeda; mau datanya persis berapa ratus persen pun, penarikan batas batuan, interpretasi kehadiran lipatan, panjang sesar, pasti akan berbeda, layaknya sidik jari.
Selain itu juga, sudah banyak artis yang mengambil geologi (atau setidaknya batuan sebagai komponen alam) sebagai subjek karya seninya. Di Indonesia misalnya, instalasi karya Sunaryo di Wot Batu (Bandung) berupa tumpukan batu yang saling menyokong hingga mencapai fase ekuilibrium. Atau Tisna Sanjaya yang tahun 2018 kemarin membuat lukisan dan karya seni cetak tubuh (body print) di dalam excavation box selama tim Teknik Geologi ITB melakukan rescue excavation atas temuan fosil gading stegodon di Majalengka.

Dengan tantangan baru seperti ini, setelah berbabak-babak brainstorming, akhirnya tim kami mengambil sebuah tema besar berjudul Plastifacts in the Anthropocene: Past, Present, and Future. Kami akan menjelajahi hubungan manusia dan alam dari tiga fase waktu ini, dengan plastik sebagai objek heritage of modernity.
Narasi Antroposen sudah hadir selama dua dekade, dicetuskan oleh peraih medali Nobel kimia, Paul J. Crutzen, untuk menyebut babak geologi ter-mutakhir, zaman di mana kita ini hidup. Konsensus geologi menyebutkan bahwa hari ini kita berada di Holosen. Tidak, kata Crutzen dan pengikutnya menentang narasi resmi geolog. Mereka berusaha mendorong mundur batas teratas Holosen yang kini bergerak maju setiap detiknya. Holosen seharusnya sudah lama berakhir dan sekarang sudah masuk zamannya manusia! Cetusan ini, yang kemudian dipopulerkan oleh media dan politisi sayap kiri menjadi sebuah alat untuk mencolok hidung pemerintah, jika bukan seluruh ummat an-Nas, untuk segera mengambil tindakan atas perubahan iklim yang semakin menjadi-jadi.
Saya pikir, sebagai geolog di antara arkeolog, topik dan momen ini sangat tepat untuk menaikkan kembali debat-debat penggunaan istilah Antroposen di dunia arkeologis. Kita mampu memandang Antroposen dari banyak segi dan objek: dari evolusi tradisi manusia, dari kandungan unsur kimiawi di atmosfer, laut, dan tanah, atau bahkan yang lebih digemari aktivis adalah dari endapan microplastic dan lemak (fatberg): keduanya dipakai sebagai senjata untuk melanggengkan kampanye anti-plastik dan vegetarianisme sebagai solusi menyelamatkan bumi dan kehidupan organisme lain di laut. Dan semuanya ini adalah artefak bikinan manusia, ranah eksklusif arkeologi.
Plastik, plastik, plastik...
PAST
Kiyoka, kolega kami dari Jepang bercerita tentang bagaimana ia, sebagai seorang perempuan dalam komunitas budayanya, memiliki ketergantungan terhadap lensa kontak (contact lens) sejak usia dini. Menurut komunitasnya, perempuan berkacamata bukanlah sebuah norma sosial yang baik, sementara laki-laki berkacamata dipandang sebagai fenomena yang wajar, karena mencerminkan kerja keras, kecerdasan, dan profesionalitas kaum adam. Oleh karena itu, semenjak menginjak usia remaja, tidak sehari pun plastik bening tipis penyelamat pandangan itu lepas dari matanya.
Sambil berkontemplasi, Kiyoka berusaha menghitung seberapa banyak lensa kontak sekali pakai yang telah ia buang ke dalam kloset setiap hari. Ia akhirnya berikrar untuk mengumpulkan seluruh kontak lensa yang ia pakai selama sebulan, untuk kemudian dikalikan seberapa lama ketergantungannya pada lensa kontak.
Sebagai bahan karya, kami mencari kalender tahun 2011, tahun ketika Kiyoka dan lensa kontaknya resmi menjalin komitmen jangka panjang. Idealisme memaksa kami mengembara dari satu kringloop ke kringloop lain (kringloop: toko daur ulang), mencari kalender yang asalnya dari Jepang. Namun akhirnya kami harus menurunkan standar kami: kalender 2011 apapun yang kami temukan pertama kali, akan langsung kami beli. Dan komitmen itu pula yang mempertemukan kami dengan kalender gratisan majalah anak-anak di bilangan Overhoeks, sebuah kawasan industri dan recycling Amsterdam. Jengkelnya adalah kalender itu menampilkan Cookie Monster, karakter Sesame Street yang paling saya benci, karena pernah hadir sebagai tokoh utama di babak-babak mimpi buruk saya semasa kecil.
Setelah sebulan, Kiyoka akhirnya datang dengan kantong klip kecil berisikan lensa kontak yang sudah tidak karuan bentuknya: ada yang masih mulus cembung, ada yang robek sebagian, bahkan yang tergulung kaku seperti daki transparan. Satu per satu lensa itu kami keluarkan, lalu ditempelkan per tanggal 18 Febuari 2011, hari bersejarah bagi Kiyoka dan lensa mata kesayangannya.
Karya ini merefleksikan bagaimana adiksi terhadap plastik yang ditempelkan ke mata, bersatu menjadi anggota tubuh yang tak terpisahkan itu sebenarnya dikontrol oleh norma budaya. Sebuah aturan tak kasat mata bikinan manusia mampu mengontrol wanita (insert gender imbalance narrative here) untuk mengonsumsi plastik sedari kecil hingga mungkin saat dibaringkan di liang lahat nantinya. Tradisi, begitu katanya. Tradisi yang diwariskan lintas generasi tidak bisa diubah, begitu sabdanya. Ya, sebuah tradisi yang harus memaksa wanita mengonsumsi plastik sekali pakai dan mengendap di tanah, tak berguna, hanya demi tunduk pada konsesi tak kasat mata bagi kenikmatan pandangan lelaki, yang mungkin hanya relevan di masa lalu. past.

PRESENT
Ini bukan pemandangan spektakuler, bukan juga pemandangan lawas dalam foto-foto jadul kecoklatan: deret demi deret makanan ringan, beras, deterjen, bahkan kondom beraneka ukuran mengisi etalase supermarket kesayangan anda. Coba lihat dari kejauhan, maka substansi diversitas mereka akan hilang: dari luar tidak terlihat keripik yang renyah atau deterjen sekasar tepung panir, atau kondom lembut maupun yang bertotol-totol, semuanya terbungkus indah dan rapi di dalam plastik berwarna-warni memanjakan mata. Ini pemandangan masa kini, ini pemandangan hari ini.
Kalau kita bisa terbang ke langit-langit supermarket dan melihat dengan bird's-eye view menggunakan pikiran kita, maka akan terlihat sosok gelap yang menempel bak lintah di kepala, hati, dan perut manusia semua: setan konsumerisme, yang namanya tak pernah dikuak oleh Bibel tapi disebutkan terus-menerus.
Manusia satu mengambil sebungkus salad dari lemari pendingin, berjalan ke check-out counter, memindai barcode pada mesin pembaca, mengeluarkan kartu debit dan menyelesaikan transaksi, kemudian mengayuh sepeda pulang, membuka tutup wadah salad, memakan isinya dalam 6 menit, kemudian melemparkan wadah dan sendok plastiknya ke dalam tempat sampah. Begitu kira-kira perjalanan hidup plastik dari supermarket hingga beristirahat dengan tenang dalam tong sampah.
Di saat yang sama, di pabrik nun jauh di sana, berjuta-juta (lebih!) wadah plastik dicetak dan dipak dalam proses yang panjang nan lama. Mereka kemudian dikirimkan ke pusat produksi supermarket, untuk kemudian diisi dengan aneka selada, wortel, telur, dan juga mayones. Setelahnya, ia kembali dikirim dalam kontainer-kontainer truk menuju supermarket cabang untuk dipajang dalam etalase-etalase lemari pendingin. Begitu kira-kira separuh hidup pertama sang plastik. Lahir dan matinya mungkin tidak kurang dari sebulan, lebih cepat dari nyamuk betina.
Syukur jika hidupnya kembali "dihargai" setelah mendekam di tong sampah. Dia bisa didaur ulang, dijadikan plastik lagi, atau paling-paling dikirimkan ke seberang lautan menuju dunia ketiga untuk disulap kembali menjadi baju bungkus indomie, "karet" gelang bekas kondom, atau topi bungkus deterjen. Yang di negara asalnya mengapresiasi tinggi, berdecak kagum sambil bertepuk tangan bak kera, memuji bagaimana orang-orang "kreatif" ini memberi makna pada sampah salad mereka, sambil membusungkan dada memamerkan bagaimana sampah di negara mereka dikelola dengan baik. Ya, dengan baik... poof! hilang dari pandangan dan muncul di paroh dunia lain.
Sayangnya, yang benar-benar didaur ulang hanya sebagian kecil, sementara plastik terus lahir. Net production-nya lebih tinggi ketimbang yang habis dipakai. Akibatnya, ya plastik jadi merajalela, pertumbuhannya mengalahkan amoeba yang konon bisa membelah jadi dua dalam waktu sekian menit. Plastik makin bertambah. Untuk ini itu, ada di sini situ. Rupa-rupanya, si produksi patuh oleh prinsip pasar: no demand, no production; no production, no plastic. Malangnya, sebagai manusia, demanding kita jalan terus.
Demand, plastic, consumerism, over-consumption. Empat poin inilah yang menjadi titik berangkat kami untuk karya yang kedua, menguak konsumerisme sebagai masalah kontemporer urgent yang semakin menjadi-jadi. Saya menjadi tergelitik untuk menyelidiki kebiasaan saya sendiri: seberapa banyak demand saya terhadap barang sehari-hari untuk konsumsi, yang berakhir dengan sampah plastik yang bisa saya produksi selama sebulan? Oleh karena itu, giliran saya untuk berikrar: selama sebulan, saya akan menyimpan semua sampah plastik dan tak satu pun boleh luput ke dalam mulut tempat sampah.
Ancaman proyek saya hanya satu: dibuang housemate atau land lady yang clean freak dan suka datang tiba-tiba membuang seenak udel-nya barang-barang kami di dapur. Atau mungkin satu lagi: bias yang suka datang tiba-tiba ketika belanja. Di satu sisi, saya butuh material yang beragam untuk menciptakan karya yang bagus, sehingga saya menjadi lebih konsumtif; di sisi lain, saya juga malu karena semakin berkontribusi pada banyaknya sampah. Dilema moral ini kerap membayangi selama 28 hari.
Akhir bulan, saya "berhasil" mengumpulkan setidaknya dua kantong penuh trash bag ukuran XL. Either proud or shamed, I don't even know how to act. Pertanyaan selanjutnya adalah: mau saya apakan?
Saya bisa dibilang seorang pendukung fanatik (masih bukan aktivis) untuk masalah representasi dan partisipasi aktif dalam banyak bidang, berusaha menjebol batas antara self dan others. Tidak hanya di tata kelola museum, saya langsung tersedot ketika ada kolom partisipatif di museum, entah itu dalam bentuk buku tamu, dinding post-it berisi komentar, atau instalasi yang butuh gerakan aktif-kolaboratif kita untuk menjalankannya. Selain bisa mengkritisi museum-museum dengan tata pamer pasif, saya juga tentu harus bisa menciptakan karya yang partisipatif sendiri. Mau dikemanakan muka ini kalau berpaling pada idealisme prinsip pribadi?
Kami gunting semua barcode yang ada di bungkus-bungkus plastik sampah saya. Mau dari tabung odol, bungkus keroepoek cassava, kontainer kacang yang tebal, kami potong dan kurasi satu per satu. Barcode yang telanjang itu sekarang kami buat menjadi kolase, menumpuk satu sama lain, dan bagian tengahnya kami lubangi dengan bentuk botol Coca-cola. Di belakangnya, kami tutup dengan keranjang jeruk, menghasilkan silhouette botol yang tampak seperti villain Marvel. Terakhir, dibingkai dengan frame murahan yang pernah saya beli di HEMA.
Kenapa barcode? Ketika berkontemplasi mengenai plastik, saya menyadari hakikat bungkus itu seperti one night stand semata. Kita pakai isinya, kemudian kita lupakan luarnya. Habis manis, sepah dibuang. Sebegitu cepatnya. We take it for granted. Komponen apa dari bungkus itu yang begitu sempurnanya merepresentasikan fenomena ini? Tentunya barcode. Ia dirancang sebagai sidik jari, memberikan identitas pada produknya, namun setelah berakhir dengan satu bunyi beep oleh mesin pemindai, ia tak punya makna lagi.
Kenapa Coca-cola? Raksasa kapitalisme mana yang paling terkenal dan maha hadir di seluruh pelosok dunia kalau bukan Coca-cola? Saya masih ingat bagaimana ketika kecil, saya dilarang keras untuk minum barang setetes cola pun, sementara anak-anak di Afrika --yang konon menurut gertakan orang tua setiap kali saya sisakan makanan, kelaparan dan kurus kering-- bisa menikmati tegukan cairan hitam yang manis dan bergas itu mengalir membasahi tenggorokan keringnya sehabis bermain bola--setidaknya begitu menurut iklannya. Produk apa yang mampu menjangkau daerah yang paling miskin sekali pun selain Coca-cola? Meskipun mungkin saja disusul oleh Indomie yang digadang-gadangkan menjadi makanan pokok melawan busung lapar di Nigeria. Tapi mungkin Indomie lebih pantas diangkat sebagai messiah, tidak seperti Coca-cola, simbol kapitalisme keparat.
Keranjang jeruk? A tribute to those fishes and turtles trapped in it, whose images we see frequently as the campaign subject for no-waste NGOs.
Selanjutnya, agar penikmat(?) dapat menjadi satu dengan karya ini, mereka dianjurkan untuk menggunakan mobile barcode scanner untuk menduga barang apa yang kami konsumsi selama sebulan. Apakah mereka merasa related dengan produk-produk yang barcode-nya ditampilkan? Apakah mereka mengonsumsi barang yang sama? Apakah perbedaan budaya saya sebagai Tionghoa-Indonesia menghasilkan sampah yang berbeda dengan mereka yang asli Belanda? Demand apa yang paling tinggi? Produk apa yang paling banyak saya konsumsi? Demand, plastic, consumerism, over-consumption. present.

FUTURE
Membicarakan masa depan berarti membicarakan legacy. Manusia selalu bangga dengan warisannya, baik yang tangible maupun intangible. Tapi ketika disodorkan dengan fenomena microplastic, apakah kita masih bisa membusungkan dada? Plastik lahir dari otak-otak jenius ahli kimia, sebuah temuan yang mengubah dunia, membuat semua urusan menjadi gampang. Kita boleh berbangga untuk legacy intelektual ini. Namun bila keluar dari lingkup ini, melihat penggunaan dan disposalnya yang tidak terkontrol, hingga harus mengorbankan nyawa penyu-penyu tak bersalah, atau manusia yang harus hidup bertetangga dengan tumpukan sampah seperti di Addis Ababa, masihkah kita boleh berbangga hati?
Rata-rata umur plastik lebih lama dari manusia. Artinya, apabila hari ini saya buang wadah salad ke dalam tanah, wadah itu baru mulai terurai ketika anak saya menyusul diturunkan ke liang lahat; tentunya saya sudah lebih dulu dilahap cacing dan bakteri pengurai. Dan plastik yang terurai ini akan berserakan sedemikian banyaknya dalam ukuran mikro, sampai-sampai mengubah komposisi kimia tanah. Ribuan tahun kemudian, ketika lapisan batuan tempatnya bersarang sudah mengeras menjadi batuan sedimen, jejaknya akan selalu ada: inilah legacy manusia. Inilah yang akan menjadi sebuah smoking gun bukti kehidupan manusia andaikan di masa depan ada inteligensia baru yang berjalan di atas muka bumi, jika kepunahan massal ke-enam Antroposen benar-benar terjadi.
Oleh karena itu, untuk instalasi selanjutnya, kami membuat sebuah time capsule sambil berharap bisa akan dijumpai oleh ras inteligensia berikutnya. Sambil menyombongkan daya tahan plastik yang durable, sembari meratapi ketidakmampuan manusia untuk menguraikannya, kami menggunakan plastik sebagai media time capsule ini.
Eksekusinya sederhana. Berangkat dari jati diri kita sebagai arkeolog, kami ingin instalasi ini juga bertema arkeologi. Apa lagi yang lebih arkeologi selain tanah, artefak, dan sekop gali? Jadi, kami kumpulkan tanah sebanyak-banyaknya. Di lapisan pertama, kami campurkan plastik yang sudah dipotong kecil-kecil. Di lapisan ini kami selipkan time capsule kami: pesan pribadi kami yang sebagai penghuni Kala Antroposen, ditulis dalam Bahasa Inggris seadanya dengan tinta permanen di atas selembar kantong kresek, kemudian dimasukkan ke dalam botol krim yang tebal dan menurut intuisi kami, non-degradable (sambil membuang napas panjang). Setelah ditutup dengan tanah, kami masukkan plastik yang berukuran lebih besar di lapisan kedua. Kemudian lapisan ketiga dengan plastik yang lebih besar. Ribuan atau jutaan tahun ke depan, plastik ini akan setara dengan artefak Mesolitik-nya masa kini. Mungkin istilahnya akan berganti, bukan lagi artefacts, melainkan plastifacts.
Tentunya ukuran plastifacts tersebut adalah refleksi riil masa depan sesuai kajian ilmiah: plastik yang terurai menjadi mikro akan berada di bawah (lapisan tua), sementara yang bagus dan intact ada di atas (lapisan muda).
Pesan apa yang kita tulis? Tak lain menceritakan tentang hebatnya kami menciptakan plastik yang durable dan multifungsi, namun setelah sekian lama, justru berbalik menjadi bumerang bagi manusia dan organisme di periferi. Tentunya kami harus mengubur cita-cita murahan untuk membuat pesan ini dalam bahasa biner yang konon katanya bisa dipecahkan dengan teknologi paling asing dari planet lain sekali pun, atau mungkin meniru pesan plakat Pioneer 10 yang berisikan koordinat grafis letak Bumi dan bentuk rupa manusia.
Kembali dengan prinsip aktif-partisipatif, penikmat(?) karya ini dapat berperan sebagai arkeolog, menggali lapis demi lapis tanah berkandungan plastifacts sampai menemukan time capsule yang sudah menunggu mereka. Harapannya mereka akan membuka dan membaca pesan kami, entah reaksinya terharu atau mendengkus karena harus membaca Bahasa Inggris kami yang berantakan dengan pilihan kosakata yang buruk. future.
Konsep Antroposen dibuat untuk merangsang manusia merasa bersalah sehingga terbangun awareness-nya terhadap perubahan iklim serta kerusakan alam yang manusia ciptakan. Ketika artikel ilmiah maupun populer, gambar-gambar menakutkan, dan model-model komputer tak lagi mampu menampar kita dari lembah gelap ignorance ini, apakah karya seni bisa mengambil kendali? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Seberapa besar pengaruhnya sangat tergantung pada siapa audiensnya; mungkin semua lapisan sosial tak akan terjamah oleh karya begini. Banyak yang berpendapat bahwa kontemplasi seni itu hiburan eksklusif santapan kelas atas, mereka yang tak lagi pusing memikirkan besok mau makan apa atau mau bayar tagihan pakai duit dari mana; tapi semoga kalangan atas itu, yang menurut riset adalah penyumbang sampah dan carbon footprint terbanyak, bisa mengambil tindakan lebih dulu.
Pesan Antroposen dapat selalu kita translasikan ke dalam karya seni. Satu instalasi yang paling realis dan provokatif tentang pesan perubahan iklim Antroposen adalah karya Oliafur Eliasson (Ice Watch, 2014): 12 blok es dari yang ia tambang dari Greenland diletakkan di tempat-tempat terbuka di London, dibiarkan meleleh di depan mata manusia urban ini, yang masih skeptis terhadap nyatanya fenomena ini. Atau juga karya Isaac Cordal (Follow the Leaders, 2013) yang membuat patung bust dan kepala politisi tertanam di dalam kolam, dengan maksud menyindir mereka yang masih saja berdebat tanpa mengambil langkah konkrit. Bagaimana pun bentuknya, semoga karya ini bisa menampar siapa pun yang melihatnya dan membangunkan raksasa besar bernama manusia dari ignorance berkepanjangan, bukan untuk menghancurkannya, tapi sebaliknya. Bersama, kita bisa menjadi Jaegers, bukan Kaiju.
Salam,
Kiyoka (Japan) - Shuya (China) - Shu (Indonesia) - Yurim (South Korea)

Comments